Oleh: Ust.M. Salman Umar
Kehidupan ini digariskan untuk senantiasa berubah serta mengalami kemajuan pada setiap masa sebagai bagian dari individualitas alam dunia yang dinamis. Oleh karena itu, stagnasi dalam beberapa masa menjadi sebuah hal yang tidak didambakan. Berapa banyak pengetahuan baru yang disambut baik oleh Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama? Bukankah ada sebuah kaidah “hukum asal pada segala sesuatu adalah boleh”?
Maka, menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud dari “Bidah” dalam sabda baginda Nabi bukanlah arti yang beredar di kalangan orang-orang, yakni seluruh hal yang tidak pernah dilakukan baginda Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama dan sahabatnya. Akan tetapi, apa yang dimaksud dari “Bidah” adalah arti terminologinya yang dipahami oleh para Ulama.
Bidah dalam terminologi para ulama adalah sebuah inovasi mutakhir akan cara dalam beragama yang menyerupai ajaran syariat serta dimanifestasikan dalam rangka penghambaan yang eksesif atau diaplikasikan sebagaimana ajaran syariat. Dengan begitu, esensi dari “bidah” berakar pada terhitungnya inovasi tersebut dalam konstruksi yang tak terpisahkan dari agama, padahal dalam kenyataannya bukan seperti itu.
Sehingga, inovasi mutakhir yang muncul atas dorongan kemaslahatan dunia maupun agama tanpa ada penilaian dan keyakinan bahwa hal tersebut merupakan konstruksi yang tak terpisahkan dari agama tidak bisa disebut sebagai bidah. Inovasi tersebut paling tidak berada pada dua kategori, bertolak belakang dengan perintah dan larangan agama atau terlepas dari keduanya. Adapun yang pertama, maka jelas akan haramnya. sedangkan yang kedua, hukumnya diukur dari konsekuensinya, apabila menghasilkan maslahat yang sesuai dengan lima maslahat yang dikawal agama maka menjadi bagian dari inovasi kebaikan yang dimaksud dalam sabda baginda Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيرِ أَنْ يَنْقُصَ مِن أُجُورِهِم شَيءٌ
Artinya: “Siapa mencontohkan (memulai) sunah (perbuatan) yang baik dalam Islam maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah tersebut setelahnya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka”
Maka dari itu, perayaan dalam rangka memperingati kelahiran baginda nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama dan lainnya bukanlah sebuah bidah. Karena, perayaan tersebut tidak seorang pun yang memandangnya sebagai bagian dari pokok ajaran agama. Perayaan itu adalah sebuah semangat sosial yang mengharap kebaikan agama dan momentum emas untuk mengajak kebaikan.
Bagaimana mungkin sebuah perkumpulan yang di dalamnya diceritakan sejarah yang dilalui baginda Rasul, dilantunkan Al-Qur’an dan selawat kepadanya, dan diisi dengan nasihat-nasihat kebaikan dianggap sebagai sebuah kesesatan. Sedangkan di tempat lain, perkumpulan yang membahas hal-hal duniawi yang dilakukan oleh mereka yang mengingkari perayaan maulid Nabi tidak dianggap sebagai kesesatan?
Kemungkaran-kemungkaran yang menjadi fenomena saat ini dalam perayaan itu bukanlah esensi yang merepresentasikan dari perayaan tersebut. Hal-hal itu adalah hal lain yang membubuhi perayaan-perayaan tersebut serta kuasa untuk disingkirkan. Maka, hendaknya mereka yang mengingkari perayaan tersebut hanya menampik kemungkaran-kemungkaran yang mengotori, bukan menyangkal entitas perayaan. Karena masalah perayaan adalah masalah yang berada dalam ranah ijtihad dan tidak boleh dijustifikasi sebagai sebuah hal yang salah apalagi sesat, sebagaimana perkataan Imam al-Suyūṭī,
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Artinya: “Masalah yang masih diperselisihkan (keharamannya) tidak boleh diingkari, tapi harus mengingkari masalah yang (keharamannya) telah disepakati.”
Kemudian, bukankah di sekeliling kehidupan kita masih banyak kerusakan dan kemungkaran yang sangat berbahaya, kemungkaran yang tidak diperselisihkan keharamannya, kemungkaran yang andaikan seluruh umur kita tercurahkan untuk mengatasinya tidak akan selesai. Lantas mengapa kita justru ripuh dengan ruang disparitas yang memanifestasikan rahmat dalam sabda “Sungguh perbedaan umatku adalah sebuah rahmat”?
*Disarikan dari sebagian tulisan Dr. Sa’īd Ramaḍan al-Būṭī dalam karyanya yang berjudul “al-Islām Malādzu Kulli al-Mujatma’āt al-Insāniyyah”