Oleh: M. Fachrul Humam
Suasana jama’ah maktubah di pondok pesantren MUS dalam sekejap berubah dalam dua hari. Aura religius ubudiyyah dalam ibadah semakin menguat nan menyeruak di kalangan santri. Pasalnya ada aturan baru yang membuat para santri merasakan nuansa yang berbeda dari jamaah biasanya. Para santri diwajibkan memakai peci putih saat melakukan jamaah maktubah maupun shalat sunnah di dalam lingkungan pondok. Tentunya hal ini menimbulkan kontroversi tersendiri di pesantren sarang yang memiliki tradisi menghindari peci putih.
Beliau juga menuturkan bahwa salah satu kesunnahan sholat adalah memakai serban. Dalam Ahkamul Fuqoha’ (kumpulan keputusan Bahtsu Masa’il PBNU) disebutkan bahwa memakai peci haji warna putih sudah bisa dianggap melaksanakan kesunnahan memakai serban ketika sholat.
Di sisi lain terkesan ada kontradiksi dengan wasiat Masyayikh Sarang terdahulu yang menyatkan bahwa santri tidak boleh memakai peci putih karena menyerupai orang yang sudah berhaji. Bagi orang di lingkungan Kabupaten Rembang dan Jawa Tengah, sudah berhaji adalah anugrah besar dari Allah SWT yang diberikan kepada mereka. Berpeci haji bagi mereka adalah identitas orang yang sudah berhaji. Karena biaya haji itu mahal janganlah identitas berhaji itu dibuat murahan dengan mudah memakai peci haji. “Pernyataan ini perlu ditinjau kembali, bahwa menyerupai yang dilarang itu jika menimbulkan talbis (pengaburan), ghisy (penipuan) yang membuat orang dikira sudah berhaji padahal belum. Selama tidak ada talbis, maka justru meniru-niru itu hukumnya baik.” Tutur Syaikhina KH. M. Sa’id AR. menjelaskan soal memakai peci putih yang dianggap tabu di pesantren Sarang.
Meniru orang-orang shalih supaya bisa turut memiliki kesalehan yang sama justru sangat dianjurkan. Sebagaimana ungkapan sya’ir
فتشبهوا إن لم تكونوا مثلهم # إن التشبه بالرجال فلاح
“Menirulah, jika kalian belum bisa seperti mereka (para tokoh besar) karena sesungguhnya menyerupai orang-orang hebat itu merupakan suatu keberuntungan.”
Suatu pakaian yang sudah menjadi identitas komunitas tertentu tidak boleh dipakai sembarangan, karena sangat berpotensi menimbulkan talbis dan ghisy (penipuan). Oleh karena itu, aturan berpeci putih hanya berlaku saat melakukan shalat wajib maupun shalat sunnah di lingkungan pondok saja. Selain itu, tidak diperbolehkan bagi santri PP. MUS Sarang memakai peci putih selain untuk kegiatan ibadah sholat di dalam lingkungan pondok. Dilarang memakai peci putih di luar pondok meskipun akan melakukan sholat jum’at, kecuali jika hanya digunakan untuk sholat jum’at kemudian dilepas lagi setelah melakukan sholat jum’at.
Dengan hanya menerapkan aturan ini secara internal hanya saat shalat, maka telah menafikan talbis (bias) yang membuat santri disangka sudah haji atau dikira kiai oleh masyarakat sekitar Sarang, Rembang. Sehingga dapat mengamalkan petuah Masyayikh Sarang terdahulu tanpa meninggalkan kesunnahan dan fadhilah dalam melaksanakan shalat. “Kita ambil fadhilahnya saja.” Imbuh KH. M. Sa’id AR. pada esok harinya saat pengajian ihya’ Ulumiddin seraya mengingatkan kembali jangan sembarangan memakai peci haji di luar shalat.
Aturan lain yang membuat suasana shalat semakin khusyuk adalah ketika melakukan sholat termasuk sholat jum’at harus memakai baju putih atau polos tidak boleh memakai yang lain, serta lebih baik memakai sarung polos. Dalam kitab fiqh dijelaskan bahwa hukumnya makruh shalat menggunakan pakaian yang bergaris. Semua kemakruhan dalam sholat ketika dilanggar bisa menghilangkan fadhilah jama’ah meskipun masih mendapat barakah shalat jama’ah.
Semua aturan ini dibuat tak lain adalah agar para santri juga memerhatikan adab kepada Allah saat beribadah, disamping selalu menjaga adab kepada guru. Harapan Syaikhina, semua santri dapat giat melaksanakan shalat jama’ah dengan khusyuk dengan menjaga kesunnahan dan adabnya. (humam/mediamus)