Oleh : M. Salman Umar ( Mahasantri MAFJ semester VIII )
Sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pesta politik yang paling ditunggu-tunggu. Pertunjukan dari putra-putri terbaik bangsa untuk membuktikan kapasitasnya sebagai putra-putri yang layak untuk berkhidmah bagi bangsa ini. Namun, berkaca dari pesta-pesta yang pernah diadakan sebelummya ada bayang-bayang perpecahan yang menghantui pasca diadakannya pesta politik tersebut. Bagaimana tidak? Pesta politik yang menjadi panggung putra-putri terbaik bangsa dalam membuktikan kapasitas dan kapabilitas sebagai orang yang layak berkhidmah sering disusupi dengan ujaran kebencian, isu SARA, dan hasutan fitnah.
Terdapat beberapa alasan yang melatar belakangi kemunculan hal-hal negatif tersebut, di antaranya adalah memandang sebuah jabatan tidak sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan, namun sebagai tempat untuk menyalurkan segala keinginan. Memang benar bahwa hal ini bukanlah pandangan dari putra-putri terbaik bangsa ini. Hal ini kebanyakan merupakan pandangan para pendukung putra-putri terbaik bangsa ini yang kemudian memaksa putra-putri terbaik bangsa seakan juga terlihat seperti itu. Maka dari itu, sebagai pendukung putra-putri terbaik bangsa hendaknya kita mencontoh sikap para pendahulu kita yang bisa meredam ego masing-masing demi persatuan.
Dulu pasca ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi sahabat Umar bin Khattab menderita sakit parah. Kondisi demikian menjadikan sebagian kalangan para sahabat meminta sahabat Umar untuk segera menunjuk suksesi kepemimpinan selanjutnya sebagaimana yang telah dilakukan sahabat Abu Bakar. Namun, sahabat Umar tidak mengindahkannya karena merasa bahwa kondisi umat Islam saat itu tidak sama lagi dengan kondisi saat diperintah oleh sahabat Abu Bakar. Akan tetapi, desakan yang ada mendorong sahabat Umar untuk menunjuk tim formatur atau disebut dengan majelis syura. Tim tersebut terdiri dari enam sahabat yaitu Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah radliyallahu anhum.
Ketika enam sahabat tersebut berkumpul, Abdurrahman bin Auf memulai pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan siapa diantara keenam orang tersebut yang ingin mengundurkan diri dari pencalonan. Kemudian tiga sahabat mengundurkan yakni Zubair menyerahkan suaranya kepada Ali, Saad kepada Abdurrahman, Thalhah kepada Usman. Selanjutnya Abdurrahman bin Auf sendiri juga ikut mengundurkan diri. Maka tersisalah sahabat Usman dan Ali serta ditunjuklah Abdurrahman bin Auf sebagai penentu. Beliau berusaha selama tiga hari tiga malam tidak tidur dan hanya melakukan sholat, doa, dan istikharah serta bertanya-tanya kepada mereka yang mempunyai pendapat tentang dua kandidat ini, dan disebutkan bahwa warga memang cenderung kepada Utsman.
Ketika tiba pagi hari keempat, Abdurrahman mendatangi rumah kemenakannya Miswar untuk meminta tolong agar dipanggilkan sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Usman. Setelah keduanya datang, Abdurrahman bin Auf membawa mereka ke masjid yang sudah dipenuhi oleh masyarakat. Kemudian, Abdurrahman bin Auf memanggil sahabat Ali dan menanyakan apakah beliau mau dibaiat untuk tetap setia menjalankan Al-quran, sunnah nabinya, dan apa yang telah dilakukan Abu Bakar dan Umar? Ali Menjawab, “Tidak, akan tetapi akan aku jalankan sesuai dengan kemampuanku”. Lalu, sahabat Abdurrahman memanggil sahabat Usman serta menanyakan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang diajukan kepada sahabat Ali. Namun kali ini Beliau sahabat Usman menjawab, “ya”. Lantas Abdurrahman menengadahkan kepalanya ke atap masjid sambil memegang tangan Utsman dan berkata, “Ya Allah dengarkanlah dan saksikanlah, Ya Allah dengarkanlah dan saksikanlah, Ya Allah dengarkanlah dan saksikanlah, Ya Allah sesungguhnya aku telah alihkan beban yang ada di pundakku ke pundak Utsman bin Affan.” Kemudian sahabat Ali langsung memegang tangan kanan sahabat Usman untuk berbaiat yang kemudian diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Cobalah lihat bagaimana sikap sahabat Ali pada waktu itu. Beliau tidak menjadikan jabatan sebagai tujuan utama, akan tetapi beliau menunjukkan sikap untuk mengajak persatuan. Hal ini tidak lain karena pandangan beliau soal jabatan adalah sebuah amanat yang memiliki tanggung jawab besar sebagaimana pandangan sahabat-sahabat lain yang mengundurkan diri. Sehingga meskipun tidak terpilih beliau tetap legowo. Sikap inilah yang harus ditiru oleh para pendukung para calon yang mengajukan diri untuk berkhidmah pada negri. Jangan karena perbedaan suara dalam memilih calon menjadikan perceraiberaian yang berujung pada rusaknya persatuan. Perlu ditanamkan bahwa jabatan adalah amanat besar yang ada pertanggung jawabannya. Ketika pandangan terkait jabatan sudah seperti ini, bukan tidak mungkin bahwa pesta politik kali ini akan berjalan dengan tentram.