Mengintip tentang Ijtihadun Nawazil
Kata “nawazil” merupakan bentuk plural dari kata nazilah yang artinya suatu bentuk kesulitan dalam suatu era yang melilit manusia.[15] Dari arti tersebut memuat pemaparan fuqaha’ tentang kewajiban seorang presiden membaca do’a qunut disetiap shalat tatkala terdapat musibah menimpa para muslimin. Diantaranya perang, wabah, paceklik, hujan lebat, banjir, fitnah dsb.[16]
Sedangkan menurut terminologi ialah kasus-kasus yang menuntut untuk diberi label hukum syara’. Dan dengan arti ini mencakus seluruh kasus kontemporer yang butuh akan keputusan fatwa yang menjelaskannya. Sama halnya berulang-ulang ataukah kecil prosentase terjadinya, baik trending maupun basi.[17]
Namun sekarang term nazilah dipakai pada kasus-kasus baru yang dulunya belum ditemukan dengan konsep yang muncul hari ini. Oleh karenanya didefinisikanlah sebagai berikut : fenomena atau kasus kontemporer dan baru.[18]
Berijtihad dalam kasus kekinian hukumnya wajib terhadap umat sekarang, sehingga berposisi pada kualifikasi fardlu kifayah dan terkadang malah menjadi fardlu ain bagi sebagian pakar ahli pada beberapa kasus-kasus terkini. Sehingga kajian ini berubah menjadi wajib bagi mereka.[19]
Faktanya daerah-daerah islam tidak ada hentinya bermunculan kasus-kasus baru, akan tetapi masih mungkin diimplementasikan dengan ruang-ruang sebelumnya yang berada dalam substansi yang sama, dengan berpegang teguh pada hukum syariah berikut konsep dasarnya yang dicerna dari Al-Qur’an dan Hadist. Kendati demikian, kajian islam tidak akan stagnan. Sebab mungkin ditemukan berbagai solusi yang bervarian disetiap era, disetiap daerah dimana orientasinya tetaplah ”jalbul mashalih wa dar’ul mafasid” (memperoleh kemanfaatan dan menjauhi kerugian). [20] Para fuqaha’ terdahulu telah mengerahkan seluruh daya kemampuannya dalam mengurai masalah yang terjadi bahkan menimplementasikannya pada masalah yang melilit orang lain. Suatu keharusan bagi fuqaha’ era ini untuk merujuk prinsip dasar dari fenomena sebelumnya sebagai landasan berfikir dalam menentukan hukum yang dikaji[21]
- Formula Mata Kuliah untuk Ijtihad Nawazil
Dengan visi misi ma’had aly sebagaimana telah disebut serta memandang kekhasan diambil ialah ijtihad nawazil, maka materi pelajaran tentunya harus difokuskan pada materi yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Karena pada dasarnya mufti yang kelas tinggi harus seorang mujtahid dan didalam berbagai kitab fiqh sudah sangat jelas digambarkan ilmu apa saja yang harus dikuasai seorang mujtahid yaitu ayatul ahkam, ahadisul ahkam, ushul fiqh, qawaidul fiqh, mantiq, mengetahui masalah-masalah ijma’ dan ilmu alat seperti balaghah, badi’ maani dsb. maka materi pelajaran pokok di ma’had aly ini sebagai mana tersebut. Selain itu juga mengkaji masalah-masalah waqi’ah yang berkembang dimasyarakat atau biasa dikenal qadhaya fiqh muashiroh dan fiqh nawazil.
Dikalangan pondok pesantren menyebut kata ijtihad itu merindingkan, ini bukti ketawadhu’an masyarakat pesantren. Padahal imam suyuthi dalam karangannya mengatakan dengan beberapa argumen dan dalil bahwa ijtihad hukumnya fardhu kifayah. Target minimal ma’had aly fadhlul jamil adalah mahasantri mengetahui tata cara ijtihad yang dilakukan para ulama terdahulu. Sebetulnya kalangan pesantren seringkali melakukan ijtihad jama’I ketika berbahtsul masail ad-diniyah yaitu dihadapkan pada problematika baru yang tidak ada nash sharih dari kitab fiqh, peserta dibantu anggota dewan muharrir dan mushahih melakukan ilhaqul masail binadha’iriha, yakni menganalogikan kasus baru yang dianggap sama dengan kasus yang termaktub dalam nash kitab-kitab fiqh, setelah mengkaji dan diputuskan tidak ada fariq-perbedaan- antara mulhaq dengan mulhaq bih. Dan ini sebetulnya bagian dari ijtihad dan sudah dilakukan kiai-kiai pesantren.[22]

- Progam Penunjang Pra Spesialisasi
Dalam rangka mensukseskan jenjang pendidikan yang dilakoni oleh santri PP. MUS secara umum, dan menunjang kesiapan bakal calon peserta didik ma’had aly fadhlul jamil secara khusus diciptakanlah beberapa model progam sebagai berikut yang dikoordinir oleh kepengurusan PP. MUS meski sudah berbeda ruang lingkup organisasinya namun, bukan menjadi alasan untuk saling acuh dan tidak mensupport satu sama lain yang jelas satu arah tujuan.
- Sorogan
Sorogan ini adalah sebuah program dimana semua santri wajib mengikutinya. Dalam program ini semua tingkatan ada pembingbingnya masing-masing, dengan cara santri membaca kitabnya, kemudian di jelaskan dengan cara diterjemah, serta oleh pembingbing di beri pertanya’an-pertanya’an seputar ilmu alatnya, tidak hanya itu pembimbing juga menambai keterangan yang bisa menambah wawasan santri.
- Maa Taqul
Mataqul ini diikuti oleh santri-santri pilihan, yang di gembleng langsung oleh wali kelasnya masing-masing. Tujuan dari program ini agar supaya santri yang unggul ini pada keesokan paginya bisa menjelaskan pada teman groupnya masing-masing, karena yang mengikuti mataqul ini, termasuk pimpinan-pimpinan kelompok belajar masing-masing, dengan semboyan “ yang bisa biar tambah bisa, dan yang bisa membantu teman yang kurang bisa”. Kegiatan di laksanakan setiap malam selain malam jumat dan di ikuti oleh semua tingkatan.
- Yas’alunak
Program ini dimaksudkan untuk menggembleng santri yang kemampuannya di bawah rata-rata, dengan dibagi kelompok setiap kelompok ada Mas’ul (yang di Tanya), yang di ambilkan anak Mahantri Ma’had Aly. Assa’il (Yang bertanya) meliputi santri semua tingkatan, di wajibkan mengajukan pertanya’an prihal seputar pelajaran yang kurang di fahami, yang kemudian dijelaskan oleh Mas’ul dengan penjelasan yang lengkap, sehingga dengan adanya program ini santri yang kurang mampu bisa terbantu untuk memahami pelajaran yang sulit.
- I’adah Khosshoh
Progam I’adah Khosshoh merupakan tingkatan di bawah Maa Taqul dan Yas’alunak, progam ini diikuti oleh santri-santri yang kemampuannya sangat di bawah standar, dan juga di peruntukkan untuk para Gawages-Gawages (anak dari Kyai), supaya mendapat bimbingan khusus dalam memahami pelajarannya, dan agar supaya para santri yang kemampuannya sangat di bawah standar, bisa menyamai santri-santri yang sudah di anggap mampu.[23]
[1] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, 2017
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Drs. Haryono Rinardi M. Hum dan Dra. Sri lndrahti, M. Hum, PENELITIAN ARSIP DAN DOKUMEN TENTANG PERANG DIPONEGORO 1825-1830, 2003.
[5] Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara ; Sanad dan Jejaring Ulama Nusantara (1839-1945), Hal. 474, 2016
[6] Ibid, Hal. 477
[7] paganisme/pa·gan·is·me/ n perihal (keadaan) tidak beragama; paham pada masa sebelum adanya (datangnya, masuknya) agama (Kristen, Islam, dan sebagainya)-KBBI
[8] eksodus2/ek·so·dus/ /éksodus/ n perbuatan meninggalkan tempat asal (kampung halaman, kota, negeri) oleh penduduk secara besar-besaran-KBBI
[9] Arsip PP.MUS
[10] http://toshiyuda39.blogspot.com/
[11] Arsip PP.MUS
[12] Ibid
[13] Arsip LPDKH
[14] Arsip Ma’had Aly Fadhlul Jamil
[15] Ibn Mandhur, Lisan Al-Arab, Materi (Nun-Zai-Lam), Vol. 11 Hal. 659
[16] Prof. Musthofa bin Hamid bin Smith, Madkhal Ila Fiqh An-Nawazil, Hal. 02
[17] Abul Bashal, Al-Madkhal Ila Fiqh An-Nawazil, Vol. 01 Hal. 602
[18] Bakar Abu Yazid, Fiqh An-Nawazil, Vol. 01 Hal. 09
[19] Al-Jizani, Fiqh An-Nawazil, Vol. 01 Hal. 35
[20] Al-Arzaq, Tajalli Murunat Al-fiqh Al-Islami Amama At-Tahdiyat Al-Mu’asharah, Vol. 03 Hal. 1637
[21] Prof. Musthofa bin Hamid bin Smith, Madkhal Ila Fiqh An-Nawazil, Hal. 04
[22] Arsip Ma’had Aly Fadhlul Jamil
[23] Arsip PP. MUS