Portal Waktu PP. MUS ; Dari Laskar Diponegoro Hingga Medan Ulum Asy-Syar’iyyah
Pendahuluan
Menyulam Jejak Perjuangan , Mengkoneksikan Visi-Misi
Islam sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim atau ta’dib). Proses ini berlangsung di Indonesia melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan dengan diantaranya metode sam’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan ulama) dengan halaqah, metode tahfidz (hafalan) dll, yang terdapat di pesantren berasal dari budaya intelektual islam.
Dalam Kenyataannya, para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategui kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan. Ternyata, para wali memiliki metode yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan islam tisdak secara merata, tidak ada cara instan, karena itu mereka merumuskan strategi jangka panjang. Tidak masalah kalau harus mengenalkan islam pada anak-anak. Sebab, mereka merupakan masa depan bangsa. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan ketekunan dan kesabaran.[1]
Para ulama Nusantara penerus Wali Songo berusaha melestarikan ajaran dan strategi dakwah para pendahulunya itu secara arif. Pesantren, merupakan lembaga pendidikan Wali Songo[2]. Bermula dari Pesantren Ampel Denta, Sunan Ampel mendidik kader-kader penggerak dakwah islam seperti sunan giri, raden patah raden kusen, sunan bonang dan sunan derajat[3]. Dan fakta membuktikan betapa gamblangnya hasil dari kader-kader pesantren, baik diatas panggung lokal, nasional maupun internasional. Semua diwarnai oleh kader-kader pesantren.
Perang Diponegoro ;
Dari Fisik Hingga Pendidikan
Perang Diponegoro atau Perang Jawa ( 1825-1830) merupakan episode cemerlang dalam sejarah perang bangsa Indonesia melawan imperialisme dan kolonialisme. Dibandingkan dengan perang-perang melawan kolonialisme yang lain di Indonesia. Perang Jawa merupakan suatu perang besar, baik dilihat dari pihak yang terlibat, jumlah korban maupun beaya yang harus dikeluarkan pcmerintah kolonial. Selama perang berlangsung sekitar 200.000 penduduk, 8.000 scrdadu Eropa dan 7.000 tentara pribumi tewas (Carey, 1986: 27), dengan memakan dana tidak kurang dari 20 juta gulden (Sagimun, 1986: 290)[4].

Dalam naskah jawa dan belanda, carey menemukan 108 kiai, 31 haji 15 syekh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kiai guru yang turut berperang bersama Diponnegoro. Setelah diponegoro ditangkap, mereka menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan dengan mendirikan masjid dan pesantren jauh dari pusat-pusat tangsi Belanda. Beberapa pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur menyimpan kronik-kronik sejarah ini.
Pada akhir perang, para kiai pengikut pangeran Diponegoro berkumpul dan bersepakat untuk merubah arah perjuangan mereka. Dari perang fisik menjadi perjuangan bidang pendidikan. Mereka berpencar untuk menyebarkan pendidikan islam di berbagai penjuru mata angin. Satu komitmen mereka adalah adanya penanda di lokasi masing-masing sebagai perwujudan semangat persatuan dan perlawanan terhadap kemungkaran. Penanda itu adalah adanya dua pohon sawo didepan tinggal masing-masing. Pohon sawo ini adalah filosofi dari kalimat “sawwu shufufakum” yang artinya rapatkan barisanmu.[5]
Setelah perang jawa berakhir banyak pesantren tumbuh kembang khususnya di Jawa, seperti Pesantren Maskumambang Gersik (1859), Pesantren Berjan Purworejo (1870), Pesantren Arjawinangun Cirebon, Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep, Pesantren Kedunglo Kediri, Pesantren Genggong Probolinggo (1839), Pesantren Langitan Tuban (1852), Pesantren Paculgowang Jombang (1880), pesantren Rejoso Jombang (1885), Pesantren Guluk-Guluk Sumenep (1887), Pesantren Sarang dan Lasem, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Kempek Cirebon, Pesantren gedang Cirebon, pesantren Mranggen Demak, Pesantren Sukorejo Situbondo dan pesantren-pesantren lainnya. [6]
Titik Tolak Dakwah Sarang
- Demografi Sarang dan Kiai Lanah Sang Laskar Dipenogoro
Sarang adalah nama dari sebuah kecamatan yang terletak di ujung timur provinsi Jawa Tengah dan masuk dalam wilayah administratif Rembang yang ketika diucapkan maka terlintas dalam benak nama-nama pondok pesantren salaf yang berdiri kokoh di tepian pantai utara (Pantura), tepatnya di Desa Karangmangu. Konon ketika zaman lmperialisme, kondisi masyarakat Sarang berada dalam kondisi tatanan jahiliy, karena mayoritas penduduknya adalah penganut Paganisme[7] serta penganut Animisme dan Dinamisme. Sementara kondisi ekonominya berada dalam strata yang sangat memprihatinkan, karena pada masa itu ekonomi masyarakatnya hanya bertumpu pada sektor pertanian dan nelayan yang masih menggunakan alat-alat konvensional dan manual, belum ada yang berniaga seperti yang kita Iihat sekarang. Pada saat itulah terjadi eksodus[8] besar-besaran. Orang-orang keturunan Madura dari Sedayu Gresik Jawa Timur ke Sarang karena dikejar-kejar oleh Belanda. Sebab mereka menolak untuk bekerja sama dengan kaum Imperialis Salibis tersebut yang mana eksodus tersebut membawa dampak positif bagi perkembangan perekonomian Sarang. Hingga kini mayoritas penduduk Sarang adalah campuran etnis Madura Jawa.
Dari sekian banyak keturunan Madura yang mengungsi ke Sarang, ada seorang yang sangat berwibawa, beliau adalah Kiai Lanah.[9] Tokoh yang kerap disapa “Mbah Lanah” ini merupakan salah satu pejuang yang bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro guna membersihkan tanah Jawa dari cengkraman para penjajah. Setelah mendengar kabar bahwa Pangeran Dipenegoro berhasil dikalahkan oleh tentara Belanda dengan menggunakan siasat liciknya, mbah Lanah beralih dakwah menegakan Agama Allah melalui metode pengajaran Agama dan tidak lagi mengangkat senjata memerangi musuh secara lahiriyah.[10]
Hal ini dibuktikan dengan adanya pohon sawo di area halaman MGS, yangmana sebagai simbol komitmen dari Laskar Diponegoro sebagaimana telah disebut pada bagian sebelumnya. Sehingga memperjelas akan keterkaitan pondok pesantren sarang dalam jaringan spirit perjuangan Laskar Diponegoro dalam ranah amanat nubuwah, menjadi khalifah yakni memerangi kemungkaran, menegakkan kebajikan serta mengawal umat dan bangsa.
- Mbah Ghazali Putra Kiai Lanah
Beliau adalah KH. Ghozali bin Lanah seorang tokoh agung yang menjadi cikal bakal dari pondok pesantren di Sarang. Sejarah mencatat bahwa beliau adalah seorang yang sangat dermawan dan pekerja keras dalam mebangun sumber daya manusia dan berdakwah di Sarang. Terbukti, untuk memperlancar dakwahnya sebagal media pembelajaran bagi murid-muridnya, beliau dengan telaten menulis sendirl kitab-kitab besar semacam Tafsir Jalalain, Fathul Mu’in , Bulughul Marom dll. Dan sampai sekarangpun manuskrip-manuskrip itu masih tersimpan rapi di pondok pesantren Ma’hadul Ilmi As-Syariyyah (MIS).
Pada tahun 1859 M, beliau yang bernama asli Saliyo bin Lanah kembali ke rahmat Allah sekaligus menutup perjuangannya didunia ini. Dan sungguh hasil yang tak ternilai bisa kita lihat sekarang bagaimana perubahan signifikan terjadi di Sarang. Kini sudah delapan pondok pesantren berdiri megah di sana. Puluhan ribu alumnus menyebar tidak hanya ada di pulau Jawa, bahkan di seluruh nusantara. Tidak sedikit dari mereka yang sukses berdakwah dengan mendirikan pesantren dan lembaga-Iembaga pendidikan agama seperti Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah (MGS) yang didirikan pada tahun 1934 M disematkanlah nama beliau dalam rangka mengenang jasa-jasa dan perjuangannya sekaligus sebagai simbol persatuan pondok pesantren sarang, sebagaimana yang dituturkan oleh almarhum almaghfirullah KH. Maimoen Zubair dalam salah satu ceramahnya.
Sepeninggal Mbah Ghazali perjuangan dakwah dilanjutkan oleh sang menantu, yaitu KH. Oemar bin Harun yang masih keturunan dari Pangeran Sambu Lasem. Selama 31 tahun beliau memimpin, perkembangan pun melaju cukup pesat, hingga akhirnya pada tahun1890 M beliau ikut menyusul sang mertua menghadap Allah Ta’ala.[11]