Oleh : M. Fakhrul Humam ( Mahasantri MAFJ Semester 4)
Suatu hari Nabi Muhammad ditanya oleh seorang a’rabi “Wahai Rasulullah, kapankah kiamat itu?” Rasulullah pun balik bertanya “Memangnya apa yang sudah kamu siapkan untuk menghadapi kiamat?” Dengan lugunya a’rabi itu nyeletuk “Cintaku pada Allah dan Rasul-Nya.” Tak disangka tanggapan Nabi diluar dugaan “Kelak engkau akan bersama orang yang engkau cintai.”
Sekilas ungkapan a’rabi itu awalnya terkesan remeh karena hanya bermodal cinta. Sedangkan para sahabat lain begitu besar kiprah serta jasanya terhadap perjuangan Nabi. Namun hal itu tertepis setelah mendengar tanggapan Nabi Muhammad bahwa dengan cinta itulah ia akan menyusul dan berkumpul bersama orang yang dicintainya. Selumit kisah ini secara tidak langsung menggambarkan betapa agungnya cinta kepada Nabi Muhammad.
Bila diteliti lebih dalam pun sebenarnya perjuangan dan pengorbanan para sahabat Nabi tak lain dicurahkan habis-habisan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Suatu ketika dalam persiapan hijrah, Nabi membuka donasi kepada para saudagar dari kalangan sahabat. Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah memerintahkan kami untuk bersedekah dan kebetulan pada waktu itu aku memiliki sejumlah harta.”
Beliau berkata dalam hati, “Hari ini (sedekahku) akan melebihi (sedekah) Abu Bakar.” Lalu aku membawa sebagian hartaku kepada Rasulullah. Rasulullah lalu bertanya, “Apakah masih ada harta untuk keluargamu?” “Masih ada, sama dengan jumlah ini,” jawabku. Kemudian datanglah Abu Bakar dengan menafkahkan semua harta yang dimilikinya. Rasul bertanya, “Wahai Abu Bakar, apakah masih ada harta untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku sisakan bagi keluargaku, Allah dan Rasul-Nya.” Aku pun berkata, “Aku tak mampu mengungguli Abu Bakar selamanya.” (HR Tirmidzi). Hingga bila Rasulullah adalah kota kedermawanan maka Abu Bakar pun mendapat predikat pintu kedermawanan dari Rasulullah.
Kecintaan para sahabat Nabi pun diwujudkan dari kekompakan mereka satu suara menyambut seruan Rasulullah dalam gentingnya perang Badar dimana jumlah pasukan mukminin kalah banding dengan kaum musyrikin. Sebelum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berangkat perang Badar beliau bermusyawarah dengan para sahabat, tentang rencana nanti. Sahabat Sa’ad memberikan semangat kepada Rasul “Sungguh kami percaya dengan semua yang Engkau sampaikan wahai Rasul, kami berjanji untuk patuh dengan semua perintahmu. Wahai Rasulullah sampaikanlah kehendakmu, Demi Allah jikapun engkau meminta kami untuk menyebrangi lautan niscaya kami patuh, tidak seorang pun diantara kami yang tinggal diam akan hal ini, dan kami tidaklah takut terhadap musuh.”
Tak kalah dengan Sa’ad, Miqdad bin Sawad dengan lantang menyuarakan sumpah setianya “Wahai Rasulullah lanjutkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu, sungguh kami tak akan mengatakan “Pergilah engkau bersama tuhanmu untuk berperang, biarkan kami duduk diam saja” seperti ungkapan Bani Isra’il tatkala diajak untuk berjuang, tapi kami akan katakan “Pergilah berperang bersama Tuhanmu, dan kami akan menyertaimu.” Dengan itulah akhirnya Rasulullah senang dan bangga kepada para sahabat. Betapa para sahabat satu demi satu berjuang keras saling berlomba menunjukkan cara mencintai sang baginda.
Seberapakah kita harus mencaintai Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam? Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda
عن أنس بن مالك عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال لَا يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ، حتَّى أكُونَ أحَبَّ إلَيْهِ مِن والِدِهِ ووَلَدِهِ والنَّاسِ أجْمَعِينَ (رواه البخاري)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda “Tidaklah seorang pun dari kalian beriman dengan sempurna hingga aku menjadi sosok yang paling dia cintai melebihi orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya (HR. Imam al-Bukhari)
Sudahkah kita secinta ini kepada Rasulullah? Saat mahallul qiyam saja mungkin masih ada dari kita yang cari tembok atau tiang untuk bersandar.