Selain itu, ada beberapa kemungkinan yang mendorong seorang muslim yang menjadi kepala negara tidak menerapkan syariat Islam, diantaranya karena: Kemalasan (tidak bisa menjadikan kafir); Kecenderungannya mengikuti hawa nafsu, atau kepentingan kepentingan duniawi (tidak bisa menjadikan kafir); Ingkar terhadap syariat Allah SWT. (hal ini bisa menjadikan kafir).
Motif motif tidak bersedia menerapkan syariat di atas hanya bisa jelas jika ada bukti-bukti yang kuat. Jadi, kalau tidak ada bukti atas satu di antara alasan-alasan tadi, maka tiga kemungkinan-kemungkinan di atas masih berlaku. Dan kalau kemungkinan motif salah satu dari ketiganya belum jelas, maka tidak boleh memaksakan satu kemungkinan motif (motif tidak menerapkan syariat karena ingkar pada syariat Islam). Karena hal itu sama dengan mempermainkan hukum agama.
Oleh karenanya, pembuktian yang belum jelas seperti itu menjadi gugur, sehingga yang berlaku adalah hukum asal, yaitu kepala negara tetap Islam. Karena tidak menerapkan syariat belum tentu karena ingkar terhadap syariat tetapi mungkin karena didorong motif lain. Hal ini sesuai dengan kai dah: “Yang asal adalah memberlakukan hukum yang ada atas apa yang sebelumnya telah ada, yaitu kepala negara tetap masih muslim.”Dan yang terpenting, standar hukum asal dalam menentukan keislaman dan kekufuran seseorang itu terletak pada keyakinan. Karena itu, jika suatu uca pan atau perbuatan dapat berakibat pada kekafiran, maka pelakunya bisa dihukumi murtad. Sebab, ucapan atau perbuatan itu mengandung bukti nyata atas keyakinan yang menjadikannya murtad.
Namun, jika tidak ditemukan indikasi kemurtadan kuat sebagai bukti, karena yang ada hanya sekedar kemungkinan-ke mungkinan spekulatif, dalam kondisi seperti ini masih ada kemungkinan motif tidak menerapkan syariat bukan karena ingkar terhadap syariat maka pelakunya tidak boleh dihukumi murtad atau kafir. Dalam konteks ini, tidak menerapkan syariat Islam itu hanya mengindikasikan pada perbuatan kemaksiatan dan kefasikan, dengan tetap menyerahkan kebenaran yang sejati kepada Allah.
Dengan demikian, jelas bahwa keluar dari kepemimpinan kepala negara Islam dan menentangnya itu hukumnya haram, bukan mubah atau boleh, apalagi sampai ada yang me nyebutnya termasuk jihad fi sabilillah. Yang penting semuanya dengan tanda kutip, selama para penguasa tersebut tidak melakukan kekufuran secara terang-terangan kepada Allah SWT.
Bahkan apa yang dilakukan orang-orang ini pada masa kini bukan hanya sekedar menentang dengan cara meneror dan membunuh kepala negara yang mereka anggap kafir atau murtad, dengan dasar karena kepala negara tersebut tidak mau menghukumi berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah. Tetapi, teror dan pembunuhan itu juga sudah merembet kepada segenap aparat pemerintahan, seperti polisi, tentara dan pegawai. Mereka melakukan hal itu dengan berpedoman pada anggapan yang salah bahwa, para aparat pemerintahan, yaitu militer dan pegawai pemerintahan tersebut adalah kaki tangan para penguasa yang zalim, sehingga mereka harus diperlakukan sama.
Di muka sudah kami jelaskan bahwa seorang penguasa yang zalim itu harus tetap kita akui kepemimpinannya dan tidak boleh menentang nya dengan cara-cara kekerasan seperti membunuhnya, lebih-lebih terhadap aparat-aparatnya yang hanya sekedar bawahannya. Mereka juga tidak boleh ditentang dengan cara dibunuh dan dimusuhi.
Sekalipun misalnya ada alasan syariat yang membenarkan untuk menentang seorang penguasa yang zalim dengan cara dibunuh, namun hukum itu tidak berarti berlaku pula terhadap para aparatnya, kecuali kalau memang mereka melakukan tindak kekufuran atau melanggar larangan-larangan yang menuntut mereka dihukum had. Karena itu, kita tidak boleh merampas stigma Islam atau iman dari mereka hanya karena dalih mereka adalah para aparat atau pegawai seorang penguasa zalim yang melaksanakan kebijakan kebijakannya. Dalam menghukumi mereka harus melalui proses peng adilan syariah yang dibentuk oleh pemerintah, dan di Indoensia tidak ada pengadilan syariah. Maka bagi rakyat tidak boleh menghakimi sendiri Lalu apakah mereka (kelompok penentang pemerintah) bisa disebut sebagai pemberontak? Berdasarkan kesepakatan para ulama ahli fikih, yang disebut pemberontak atau bu ghat ialah sekelompok orang yang memenuhi tiga syarat yaitu:
- Menentang kepala negara Islam dengan cara memeranginya atau menolak untuk memenuhi hak yang harus ditunaikannya
- Berpijak pada pendapat yang bersifat jihadi untuk melegalkan tindakan mereka
- Mereka pun mempunyai kekuatan serta seorang pimpinan yang ditaati
Ketiga syarat itulah yang menjadi letak kesepakatan para ulama ahli fikih untuk menyebut kelompok penentang pemerintah sebagai kelompok pemberontak. Dan yang perlu dicatat, dalam pandangan syariat ketiganya bukan merupakan syarat untuk membenarkan perbuatan mereka, seperti anggapan yang mereka kira. Tetapi hal itu hanya me rupakan syarat-syarat untuk diterap kannya etika dan batasan-batasan tertentu yang harus dijadikan dasar oleh pemerintah untuk memerangi mereka.
Diantara etika dan batasan batasan tersebut ialah pemerintah tidak boleh memburu mereka yang melarikan diri untuk dibunuh, kecuali jika melarikan diri untuk bergabung dengan kelompok yang sama; juga tidak boleh hukumnya melakukan pembunuhan sadis bagi mereka yang terluka dan juga tidak boleh merampas harta mereka. Dan jika tertangkap, mereka tidak boleh dihukum mati, juga tidak boleh membunuh mereka yang tertawan. Tetapi mereka cukup diberi sanksi dijebloskan ke dalam penjara dan sanksi lainnya, sampai mereka mau bertaubat. Mereka juga tidak dijatuhi hukuman qishas dalam kasus menghilangkan nyawa, dan tidak dibebani membayar diyat dan lain sebagainya ketika melakukan pemberontakan. Akan tetapi, jika mereka menentang kepala negara Islam tanpa berdasarkan pendapat yang bersifat ijtihadi yang bisa diterima meskipun menurut pendapat yang lemah, atau mereka tidak mempunyai kekuatan dan seorang tokoh pimpinan yang ditaati, maka pemerintah dalam melawan mereka tidak harus terikat dengan etika-etika dalam melawan bughat Bahkan mereka haru dianggap seperti perampok jalanan, karena tidak termasuk dalam definisi bughat dan dengan segenap kemampuan pemerintah harus menindak mereka dengan tegas seperti menindak tegas para perampok jalanan.
Lantas, muncul pertanyaan lain apakah orang-orang yang menentang pemerintahan dewasa ini disebut sebagai kaum pemberontak (bughat) atau perampok jalanan (ahlul hirabah)?
Jawaban dari pertanyaan ini tergantung pada jawaban pertanyaan sebelumnya. Yakni apakah tindakan orang-orang itu berdasarkan pada pendapat ijtihadi sehingga mereka dikategorikan sebagai bughat?
Setelah saya mencermati dalil dalil yang dijadikan pedoman oleh orang-orang yang menentang penguasa dengan kekerasan, ternyata semuanya berkisar pada pengkafiran penguasa, karena ia tidak menerap kan syariat Islam dalam bernegara. Dan saya kira, sudah jelas bahwa pijakan dalil mereka tentang peng kafiran kepala negara yang tidak menerapkan syariat Islam ini tidak bersifat ijtihadi melainkan telah keluar dari nash-nash yang pasti dan keluar dari ijmak dengan mengecualikan golongan Khawarij, Pendapat mereka tidak muncul dalam koridor hukum yang bersifat ijtihadi. Maka dari itu, mereka tidak digolongkan sebagai bughat, bahkan mereka telah berani berbenturan dengan kesepakatan para ulama serta nash-nash yang sahih Padahal kita tahu tidak ada ruang ijtihad dalam nash. Karena itulah dalam kaidah-kaidah dan hukum-hukum fikih kita tidak menemukan dalil yang menunjukan kecocokan definisi bughat atas mereka.
Definisi yang cocok atas mereka ialah kaum begal jalanan bila membuat kerusuhan yang menimbulkan rasa takut pada masyarakat. Dalam surat al-Ma’idah diterangkan mengenai sanksi hukuman bagi mereka yakni :
إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فساداً أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو يثقوا من الأرض ذلك لهم خرى في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم (سورة المائدة )
Artinya: “Hukuman bagi orang orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh dan disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediaman bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka men-dapat azab yang besar”. (al Ma’idah: 33)
Demikian ini seperti pendapat yang disampaikan Syaikh Muhammad Romadlon al Buthi dalam kitabnya, al-Jihad fi al-Islam. Di negara manapun termasuk negara tercinta Indonesia ada lambang dan simbol-simbol negara. Hal seperti itu dibutuhkan untuk bisa membangkitkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air di samping seba gal identitas negara. Hal tersebut juga dilakukan oleh para shahabat atas pe rintah Nabi SAW dan dilakukan kabi lah dan komunitas masyarakat Arab lainnya. Mereka berada di belakang bendera dan bendera itu dijaga dan dihormati, ketika bendera itu berki bar, hal itu menunjukkan kebesaran mereka dan ketika bendera dihina, maka mereka menganggap perbuat an itu sebagai penghinaan kepada mereka.
Oleh karena itu, penghormatan bendera merah putih sebagai implementasi rasa cinta kita kepada tanah air dan menjaganya dari rong rongan musuh adalah boleh, karena hukum menghormati bendera itu diperbolehkan seperti yang telah kami sebutkan di atas. Adapun cara penghormatan dengan mengangkat tangan juga boleh, karena hal terse but termasuk bagian dari adat dan tradisi yang tidak bertentangan de ngan nilai agama. Dan hal itu juga ti dak tergolong bagian dari ritual agama sehingga dapat kita kategori kan sebagai bid’ah sayyi’ah atau bagian dari ibadah selain Allah.
Bagi sebagian kelompok muslim, menghormati bendera dengan mengangkat tangan menjadi masalah. Mereka mengklaim cara menghormati bendera tersebut adalah perilaku yang musyrik karena mengagungkan benda dan hal itu dilarang oleh agama. Klaim hukum ini senada dengan pendapat salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. M. Cholil Ridwan, ia berpendapat bahwa memberikan hormat kepada bendera adaah tindakan yang tidak diper bolehkan, argumentasi yang dikemu kakan adalah karena:
- Memberi hormat kepada bendera termasuk perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah ataupun pada Khulafaurrasyidin
- Menghormati bendera bertentangan dengan tauhid yangwajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan Allah semata
- Menghormati bendera merupakan sarana menuju kesyirikan
- Menghormati bendera merupakan kegiatan yang mengikuti tradisi yang jelek dari orang kafir, serta menyamai mereka dalam sikap yang berlebihan terha dap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi
Jika kita telisik lebih dalam, anggapan tersebut satu kata dengan anggapan mereka bahwa berziarah kubur, tawassul, tabarruk, maulid nabi adalah syirik karena mengagungkan manusia atau benda. Maka tidakk aneh jika mereka memvonis musyrik Imam al Bushiri karena Qasidah al Burdah nya, dan menyesatkan kitab Dalail al-Khairat karena terdapat pengagungan kepada Rasulullah SAW dan lain lain.
Adapun anggapan tentang musyriknya menghormati bendera dapat kita jawab dengan pertanyaan sederhana, bukankah menghormati bendera bukan berarti mengagung kan dan beribadah kepada benda? Bukankah ketika Anda menghormati kedua orang tua anda dengan cium tangan saat hendak pergi sekolah misalnya, bukan berarti mengagung kan orang tua dan beribadah kepada nya selayaknya ibadahnya kita ke pada Tuhan? Jika Anda menghormati orang yang tua apakah berarti anda mengagungkan orang tersebut se layaknya Allah?
Kebanyakan kelompok yang mudah mengkafirkan orang lain seperti Wahabi, Salafi dan kelompok lainnya karena mereka terjebak pada pemahaman yang dangkal tentang maqámul khalqi dan maqámul khaliq. Padahal kedua magdm itu jelas berbeda. Karena itu, menghormati dan mengagungkan Allah SWT. jelas berbeda dengan menghormati makhluk Allah, dan orang-orang awam pun tahu perbedaan ini.
Mereka itu memang aneh! Orang awam saja tahu perbedaan itu, tapi begitu mudahnya mereka me murtadkan orang lain. Padahal konsekuensi orang murtad itu sangat berat sekali. Bisa jadi, mereka malah murtad sendiri karena memurtadkan orang-orang islam. Wallahu Alam.
2 Komentar
Sedikit kritik, sangat-sangat enak dibaca bila mana seluruh tulisan masuk proses editing
punten, itu soalnya udah dicetak dari rs. jadi gak berani edit.