Oleh : Syaikhina KH. M. Sa’id Abdurrochim

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tertua di negara tercinta Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka pondok pesantren telah mendidik para santrinya untuk selalu cinta tanah air menanamkan jiwa nasionalisme dan membela negara serta mempertahankannya dari cengkeraman para penjajah, bahkan kyai dan para santrinya terjun langsung di medan pertempuran melawan penjajah seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro serta pengikutnya dan para kyai serta santri-santrinya dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya setelah adanya Resolusi Jihad yang telah dideklarasikan oleh Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Ada sebagian tokoh nasional yang menyesalkan, kenapa di dalam Tugu Monas (Monumen Nasional) tidak ada miniatur patung yang menggambarkan perjuangan. para kiai dan santrinya melawan penjajah seperti halnya para tokoh dan kelompok pejuang lainnya? Tapi, bagi pribadi para kiai dan santri sebagai pelaku sejarah secara langsung, hal tersebut tidaklah terlalu penting karena melawan penjajah adalah kewajiban agama yang harus diniati tulus dan ikhlas karena perintah Allah swt, bukan untuk dipamer-pamerkan. Apalagi miniatur itu berupa patung anggota badan secara utuh yang dilarang dalam agama Islam. Walau-pun demikian, sejarah perjuangan para kiai dan santri dalam melawan penjajah harus tetap dicantumkan dalam buku bangsa Indonesia agar generasi sekarang bisa mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya.
Seperti halnya para kiai dan santri pada zaman dahulu yang selalu gigih melawan penjajah, sekarang seluruh umat Islam di era kemerdekaan ini baik santri dan kiai atau bukan wajib bersama-sama pemerintah mengorbankan jiwa dan raganya sampai tetes darah terakhir dan mendermakan sepeser harta mereka yang tersisa demi menjaga negara dari serangan orang-orang yang memusuhinya. Meskipun negara kita juga dihuni oleh orang-orang non-muslim, hal ini wajib kita lakukan sebab wilayah negara Indonesia termasuk wilayah negara Islam (Dar al-Islam), karena pernah dikuasai oleh raja-raja Islam dan status ini tidak bisa hilang sampai kapanpun.
Penulis kitab Bughyah al Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadirami mengatakan, “Telah maklum bahwa tanah Batavia bahkan sebagian besar tanah Jawa adalah negara Islam, karena ia telah berhasil dikuasai oleh kaum muslimin jauh sebelum orang orang kafir.” (Selesai.) Perlu diketahui bahwa, maksud kata Jawa menurut istilah orang Arab, termasuk yang tertera dalam kitab Bughyah tersebut tidak hanya pulau Jawa, akan tetapi juga mencakup pulau-pulau lain di luar Jawa seperti pulau Kalimantan, Sumatra dan lain-lainnya. Dengan demikian, wilayah nusantara adalah bagian dari negara Islam, karena sebelum penjajah menguasai wilayah tersebut, raja-raja Islam sudah menguasainya terlebih dahulu. Dan statusnya tidak bisa berubah menjadi Dâr al-Harbi, walaupun pada akhirnya berhasil dikuasai oleh orang orang non-muslim. Oleh sebab itu, kaum muslimin Indonesia wajib bertanggung jawab mempertahan kan kedaulatan negaranya, dan memerangi orang-orang yang berusaha menguasainya.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtâj, mengatakan, “Sebenarnya, di setiap negara yang penduduknya mampu melindungi diri dari kafir harbi, maka negara tersebut menjadi negara Islam. Maka dari itu, jelaslah bahwa negara tersebut tidak bisa menjadi negara kafir lagi walaupun telah dikuasai oleh orang-orang kafir, seperti keterangan yang ada dalam kitab Shahih al-Bukhari, “Islam tinggi kedudukannya, dan tidak bisa diungguli ketinggiannya. Sedang pendapat para ulama, yaitu: “maka akan menjadi negara kafir”, yang dimaksud adalah secara zháhir (lahiriah), bukan secara hukum. Jika tidak demikian, maka setiap negara Islam yang dikuasai kafir harbi menjadi negara kafir (Dår al-Harbi). Kami tidak menganggap ulama lain menoleransi pendapat ini.” (Selesai.)
Syaikh al-Allamah Sulaiman al Bujairami dalam kitabnya, Hasyiyah al-Bujairami, mendefinisikan negara Islam dengan mengatakan, “Yaitu yang dihuni oleh warga negara muslim, walaupun orang-orang kafir dzimmi juga tinggal di dalamnya, atau negara yang ditaklukkan oleh kaum muslimin lalu ditetapkan untuk dihuni oleh non-muslim, atau kaum muslimin telah tinggal kemudian ditundukkan oleh non-muslim.” (Selesai.) Dalam definisi ini ada ke longgaran, yaitu tidak ada syarat pe nerapan hukum-hukum Islam untuk menetapkan status Dar al-Islam, asal kan sebelumnya wilayah negara tersebut pernah dikuasai oleh pemerintahan Islam. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dari Imâm Muhammad dari Mazhab Hanafi harus ada persyaratan ini.
Dalam menyikapi masalah ini, Syaikh Muhammad Said Romadlon al Buthi berpendirian bahwa, penerapan syariat Islam tidak menjadi syarat sebuah negara Islam. Beliau dalam kitabnya Hakadza Falnad’u ila Islám mengatakan, “Suatu negara bisa dika takan negara Islam bila pernah dilin dungi dan dikuasai oleh umat Islam, sekira umat Islam mampu menampakkan keislamannya dan melindungi dari musuh-musuhnya. Kemudian beliau berkata, “Hal yang dijadi kan pijakan dalam menyebut suatu negara dengan negara Islam itu bila umat Islam mampu menampakkan hukum-hukum dan keislamannya. Kemudian ciri keislaman suatu negara tidak bisa lepas karena adanya penghalang dari musuh atau lemahnya orang Islam sendiri untuk menerapkan dan menampakkan syariat Islam dan melindunginya dari musuh dan lainnya. Selanjutnya beliau berkata, “Penerapan hukum-hukum syariat wajib dila kukan oleh penduduk yang berdo misili di negara Islam dan penerapan syariat ini tidak menjadi syarat untuk menyebut negara ini dengan negara Islam.” (Selesai.)
Apa yang saya uraikan di atas baru sebatas masalah mempertahankan wilayah negara dari serangan musuh dari luar, lalu bagaimana bila kepala negara dan pemerintahannya tidak menerapkan syariat Islam? Apakah boleh dibela dan dipertahankan atau harus dijatuhkan? Karena ada sebagian kelompok umat Islam yang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak boleh dibela, bahkan harus dijatuhkan karena pemerintah tidak menerapkan syariat Islam dengan konsekuen. Untuk menjawab masalah ini, terlebih dahulu harus diketahui bahwa dalam kitab fikih dijelaskan, seorang kepala negara yang beragama Islam dihukumi sah sebagai kepala negara dengan melalui tiga sistem yaitu:
- Baiat langsung dari Ahlul Halli wal Aqdi (MPR). Termasuk dalam sistem ini adalah baiat secara tidak langsung dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi melalui pemilihan rakyat terlebih dahulu yang lazim berlaku di beberapa negara;
- Pelimpahan wewenang, yaitu penunjukan kepala negara terhadap seseorang sebagai pemegang kekuasaan sepeninggalnya, dan orang itu bersedia menerimanya. Di samping itu, rakyat atau MPR juga tahu akan hal ini, sehingga mereka tidak mengajukan protes dan keberatan atas penunjukkan tersebut;
- Perebutan kekuasaan lewat keke rasan, dengan syarat kepala negara sebelumnya harus sudah meninggal dunia, atau dicopot dari jabatannya karena alasan syar’i atau kepemimpinannya berakhir dengan penggulingan lewat kekuatan militer atau demonstrasi rakyat.
Dengan demikian, jika seorang kepala negara telah mendapatkan legitimasi dari syara’, maka kita tidak boleh keluar dengan tidak mengakui kepemimpinannya, bahkan kita wajib taat di bawah kepemimpinannya, serta tunduk dan patuh pada perintahnya, meskipun kepala negara dan pemerintahannya tidak menerapkan syariat Islam. Karena Islam tidak menoleransi negara dalam negara.
Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan, sah hukumnya kepemimpinan dari seorang penguasa yang fasik, jika kita percaya ia mampu mengurus kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin dengan baik, mampu menjaga keamanan negara, dan mampu melindungi hak-hak rak yat dari serangan musuh. Lebih lanjut beliau mengatakan, “Kepemimpinan orang fasik juga mengandung risiko, karena berpotensi mengkhianati jabatannya. Tapi, kita tetap menganggap sah kepemimpinan seorang pe nguasa yang fasik, karena membatal kan kepemimpinannya juga bisa merusak kemaslahatan umum. Dan kita hanya mengesahkan kebijakan kebijakannya yang sesuai dengan kebijakan para pemimpin yang bijaksana dan para penguasa yang adil.” (Selesai)
Konkritnya, kita tidak akan patuh pada kebijakan kebijakannya yang menghalang-halangi hak rakyat. Tetapi kita juga tidak boleh keluar dari kepemimpin annya sebab kebijakan-kebijakannya yang diharamkan. Dan apabila kepala negara tidak melaksanakan kebijakan yang bermaslahat untuk rakyat atau la melakukan penyimpangan-penyimpangan lainnya, maka bagi seorang muslim wajib menentang kemungkaran tersebut, baik kemung karan yang dikerjakan sendiri oleh penguasa seperti mabuk-mabukan maupun kemungkaran berupa kebijakan atau undang-undang yang ditetapkan untuk rakyat yang berten tangan dengan syariat. Pemerintah akan mendapatkan dosa atas kemungkaran yang ia lakukan dalam kapasitasnya sebagai individu, dan juga mendapat dosa dari penetapan hukum dan undang-undang yang menyalahi syariat Islam dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Sedangkan masyarakat dapat terbebas dari dosa-dosa, selama mereka tidak ikut pemerintah dalam kemungkaran tersebut dan tetap mengingkari semampunya kebijakan dan langkah pemerintah yang menyimpang tersebut.
Hal inilah yang ditunjukkan dalam hadist Nabi SAW.,
“Taatilah para pemimpin kalian dalam kondisi apapun ketika ia memerintahkan se suatu yang aku perintahkan pada kalian. Sesungguhnya mereka akan diben pahala dan kalian akan mendapatkan pahala dengan menaati mereka. Dan jika mereka meme-rintah kalian pada sesuatu yang tidak aku perintahkan pada kalian, maka mereka mendapatkan dosa dan kalian bebas dari dosa” (Hadis Shahih dari kitab as-Sunnah al-Imam Abi Ashim).
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa, dalam pandangan syariat Islam tidak boleh hukumnya menentang kepala negara Islam, kendatipun ia terkenal suka melaku kan kezaliman atau kefasikan. Kaum muslimin berikut para ulama dan para dai hanya punya satu pilihan, yaitu menolak dengan ingkar dan mengumandangkan kebenaran atas kezaliman serta kefasikannya dengan cara-cara yang bijaksana.
Benar! Boleh bahkan wajib hukumnya menentang dan keluar dari kepala negara yang melakukan tindak kekufuran yang jelas, sebagaimana sabda Nabi SAW,
إلا إن أعلن كفرا بواحا
Artinya: “Tindakan kekufuran yang jelas adalah tindak kekufuran yang ia lakukan tidak bisa ditafsiri dengan penafsiran lain kecuali ke kafiran. Karena itu, kita menolak pandangan orang yang hanya ber pegang pada perasaan dan emosio nalnya saja, bahwa menentang kepala negara islam hukumnya boleh bahkan wajib, malah hal itu dianggap sebagai bentuk jihad, dengan alasan karena mereka tidak menerapkan syariat Islam dengan sempurna”.
Setahu saya, satu-satunya dalil yang dijadikan sebagai dasar oleh sekelompok orang yang menentang para penguasa dengan kekerasan adalah karena para penguasa itu merupakan orang-orang kafir yang keluar dari agama karena tidak menerapkan syariat Islam dalam negara. Padahal jelas bahwa masalah ini tidak termasuk hal-hal yang dapat membuat orang murtad. Seperti kita ketahui, hal-hal yang bisa menjadikan orang murtad (keluar dari Islam) adalah sebab adanya ucapan, per buatan, penghinaan atau penging karan terhadap nash-nash qathi yang diketahui oleh orang-orang awam dan orang-orang yang menguasai ilmu. Karena itu para ulama men ta’wil ayat Alquran:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأوليك هم الكافرون (سورة المائدة )
Artinya: “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang ditu runkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (QS. al-Maidah : 44)
Ayat ini di-ta’wil khusus diper untukkan bagi orang yang tidak me nerapkan syariat Islam karena ingkar terhadap syariat Islam. Karena, dalam ayat yang lain orang yang tidak me nerapkan syariat Islam tidak sampai kafir, tapi hanya mengakibatkan kezaliman dan kefasikan, yaitu ayat:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأوليك هم الظالمون (سورة المائدة )
Artinya :“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim”. (QS. al-Ma’idah : 45)
dan ayat:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأوليك هم الفاسقون (سورة المائدة )
Artinya: “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik” (QS. al-Ma’idah : 47)
2 Komentar
Sedikit kritik, sangat-sangat enak dibaca bila mana seluruh tulisan masuk proses editing
punten, itu soalnya udah dicetak dari rs. jadi gak berani edit.