Oleh : M. Salman Umar (Mahasantri Semester V MAFJ PP. MUS Sarang)

Diana Oblinger & James Oblinger(2005) mendefinisikan generasi kelahiran sekitar tahun 1955 hingga sekarang sebagai generasi post millenial atau yang sering kita kenal dengan generasi millenial. Rentang usia generasi ini 20 tahun ke bawah, dimana usia-usia ini adalah usia produktif yang lumrahnya masih menyandang status pelajar di lembaga pendidikan tertentu, pondok misalnya. Salah satu ciri utama generasi milenial ditandai oleh peningkatan daya guna teknologi dan akrab dengan komunikasi, media, atau dunia digital. Generasi ini memiliki kreatifitas dan penyerapan informasi, passion serta daya produktivitas yang sesuai dengan kemajuan teknologi.
Mereka ini merupakan penduduk asli era digital dengan teknologi full equipment, lebih sering menghabiskan waktu luang membuka serta bermain dengan gadget-nya dan juga lebih suka tinggal di dalam ruangan dari pada keluar nongki bersama teman-teman circle-nya. Sehingga sifat introvert menjangkiti alam bawah sadar mereka untuk lebih cenderung menyendiri dan parahnya anti interaksi dengan publik, mereka tidak nyaman berkomunikasi di dunia nyata serta pasif dalam bertindak dan berfikir, namun lebih akrab dengan dunia maya sebagai teman dekatnya, rebahan dan ngehalu.
Lahir di masa kembang pesatnya teknologi global, mempengaruhi generasi tersebut untuk punya pola pikir serba instan, pola pikir ini mendoktrin karakter mereka untuk enggan menerima kesulitan dalam menghadapi hal apapun serta mudah untuk menyerah. Padahal kita sendiri mengetahui bahwa perputaran kehidupan tidak semudah membuat mie gelas yang cukup dituang air panas dan taraa, siap menemani film drakor anda. Lantas karakter seperti apa yang harusnya dimiliki oleh kaum milenial?
Syekh al-Muntakhab bin Muwaffaq mengungkapkan salah satu dari etika pelajar yang tertuang dalam bait sya’irnya:
وجد في الطلب جدا أن تجد # وقيل في المطلب من جد وجد
“Dan bersungguh-sungguhlah dalam mencari, niscaya engkau akan mendapati. Di dalam masa pencaharian ada sebuah ungkapan barang siapa bersungguh-sungguh kelak akan memperoleh”
Etika yang beliau ungkap mengindikasikan bahwa sebagai pelajar harus mempunyai karakter yang aktif dan giat dalam mencari ilmu dan mengembangkannya. Sebagai pewaris generasi sebelumnya yang meneruskan tonggak estafet perjuangan leluhur, sudah seharusnya pelajar millennial hari ini punya keinginan berperan dalam memajukan cakrawala dan peradaban keilmuan, tentunya dengan sebuah pembuktian melalui ilmu yang dia punya. Apa dan bagaimana tawaran terhadap penyelesaian problematika masyarakat yang kenyataannya belum diketemukan kunci jawabannya atau perlu ada penarasian ulang dan juga jawaban dari problematika yang akan dihadapi (علم الحال). Sedangkan untuk menemukan jawaban problem, kesungguhan dan kesulitan menjadi suatu emas yang mana kata “penawaran” hanya sebagai nasib naas dan dengannya pasti kunci jawaban akan diketemukan. Sebagaimana kata penyair :
الجد يدني كل شاسع # والجد يفتح كل باب مغلق
“Kesungguhan itu mendekatkan setiap hal yang jauh dan kesungguhan juga membuka setiap pintu yang terkunci”
Sebab tidak ada ceritanya orang ingin membuka pintu yang tergembok hanya dengan mengetuknya, pastinya butuh usaha yang lebih keras lagi yakni harus didobrak, menikmati rasa sakit saat ada tabrakan tubuh dengan pintu atau berusaha menanyakan kuncinya kepada yang mengerti dan terpercaya berikut kesulitan mencarinya. Fenomena seperti ini sebenarnya telah diisyaratkan al-Quran di dalam surat al-Ankabut ayat 69 yang berbunyi :
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا (69)
Sebagaimana pernyataan al-Fadhil bahwa makna yang dikehendaki dari ayat ini adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu akan kami tunjukkan jalannya lewat pencarian tersebut.
Kesungguhan sendiri direpresentasikan dengan memfokuskan dirinya untuk hal-hal yang berkaitan dengan ilmu atau memiliki faidah ilmiah, tidak merasa puas akan ilmu yang sedikit serta selalu haus akan tambahan ilmu. Dengan begitu diperoleh hasil yang memuaskan dan membanggokan. Bentuk ekspresi dari fokus ialah menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu belajarnya seperti bermain, nganggur, rebahan dll.
Selain itu, pun harus memiliki hasrat tinggi, keinginan kuat serta tekad dengan senantiasa belajar dan mengembangkan ilmu tanpa kenal adanya jeda waktu, terkecuali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer. Hal ini bisa terukur dari tingkat perhatian dan kekhawatiran terhadap ilmu. Sehingga selama memungkinkan untuk menyibukkan diri dengan ilmu dan faidah ilmiah, tidak boleh meninggalkannya sedikitpun. Banyak sekali kita temukan kalam-kalam ulama yang menganjurkan untuk senantiasa belajar tanpa henti.
Imam Ibnu al-Haj mengatakan “Bahwa seorang pelajar seharusnya senantiasa menyibukkan dirinya dengan urusan ilmu, karena meninggalkan kesibukan dalam urusan ilmu meskipun sebentar saja sangatlah berbahaya”. Dalam ar-Rozan Syaikhuna KH. M. Said Abdurrochim memberikan komentar “Hal tersebut sangat benar adanya. Bukankah menulis di hari kamis lebih optimal dan baik tulisannya dari pada menulis di hari sabtu sebab pada hari jum’at penulis telah meninggalkan aktivitas baca kitabnya”.
Dalam konteks ini, Hari jum’at yang notabene merupakan weekend santri, berbahaya terhadap kualitas tulisan. Dimana lumrahnya saat weekend, terjadi reschedule belajar untuk healing-healing atau ngopi full senyum. Sehingga mempengaruhi naluri ketajaman serta kejelian analisa maupun kepahaman yang telah dimiliki. Dan akhirnya kualitas tulisannya menurun, tidak seperti hasil yang dicapai ketika di hari-hari saat berjibaku dengan kitab dan referensi.
Giat dan tekad merupakan dua karakter yang sangat penting dimiliki pelajar. Ibarat dua senjata, menggunakan dua karakter tersebut pelajar bisa memburu dan menangkap ilmu sebanyak-banyaknya. Namun, jika salah satu dari keduanya tiada maka ilmu yang didapatkan pun akan sangat minim.
Seharusnya karakter seperti inilah yang perlu dimiliki oleh para generasi milenial. Mereka harus bersungguh-sungguh berusaha keras dan pantang menyerah dalam menekuni bidangnya masing-masing. Generasi milenial adalah harapan dan pahlawan masa depan, sebagai pahlawan sudah seharusnya memberikan jasa yang bisa dirasakan generasi setelahnya, dan hal tersebut tidak akan bisa direalisasikan jika generasi milenial punya karakter yang pasif. Orang yang bersikap pasif terkesan tidak memiliki niat untuk mengerahkan seluruh waktunya demi kesibukan cita-cita, ia hanya ingin santuy, menunda-nunda, dan berprinsip yang penting dapat atau selesai tugas yang diembannya, sehingga yang terjadi adalah degradasi moral serta kepongahan dalam pola fikir.
Bukankah Teknologi diciptakan para leluhur untuk membantu pekerjaan kita menjadi mudah bukan kok malah menjadikan kita bernyali kecil dan pengecut sehingga sedikit-sedikit tidak mau kerepotan?. Seharusnya kita punya rasa malu kepada leluhur kita yang sudah mewariskan alat-alat pembantu yang serba canggih. Bukankah mereka para leluhur juga melewati masa yang sulit untuk menciptakannya? lantas, apakah kita hanya diam dan menikmati tanpa mengembangkan? Pastinya sebagai pahlawan masa depan, generasi milenial harus mempunyai karakter yang kuat untuk meneruskan perjuangan para leluhur dalam mengembangkan cakrawala keilmuan.
Lalu, apakah kita memang harus selalu bersikap aktif, padahal terlalu aktif juga bisa menjadikan bosan yang dipicu oleh kesulitan? Tentu saja tidak. Karena termasuk juga dari bagian etika pelajar adalah tidak memberatkan diri yang nantinya bisa menjadikan bosan. Namun, hal ini tidak lantas menjadi pembenaran untuk bersikap pasif, sebab sikap gampang bosan ini dipengaruhi oleh keberadaan sifat mudah putus asa atau pesimistis. Andaikan saja pelajar menghayati dan meyakini bahwa belajar merupakan bagian dari ibadah, serta setiap orang berhak serta mampu menerima ilmu dan mampu menyelesaikan masalah. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. al-Kahfi : 62 tentang rihlah ilmiah Nabi Musa AS. guna berguru kepada Nabi Khidr AS. :
لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا (62)
“Sungguh ku temui kesulitan ini dari perjalananku”
Ayat ini merupakan suatu ibrah bahwa sekelas Nabi Musa AS. dalam kapasitasnya sebagai Nabi, Rasul dan Kalimullah saja menemui akan kesulitan dan episode-episode berat. Apalagi kita yang kelasnya jauh dari Beliau, tentunya kondisi-kondisi sulit sudah bukan suatu yang dilaknat melainkan sebagai cambuk agar menjadi lebih kuat.
Begitu juga generasi milenial, mereka juga jangan mudah berputus asa. Generasi milenial harus selalu optimis dan jangan pesimis, harus yakin akan kemampuannya terlebih adanya bantuan dari kemajuan teknologi. Ibadah tidak hanya melulu berkaitan dengan sholat. Membantu orang lain juga termasuk ibadah. Sebagai harapan dan pahlawan bangsa harus membara semangatnya jangan hanya leha-leha, rebahan main gadget yang tidak ada manfaatnya. Pikirkanlah generasi selanjutnya, bukankah jasamu yang bermanfaat untuk generasi selanjutnya bisa menjadi celengan akhirat kelak? Senada dengan kaidah fiqih bahwa :
العمل المتعدي أفضل من القاصر
“Amal yang manfaatnya luas lebih baik daripada amal yang manfaatnya sempit”.
Terdapat sebuah renungan indah Syaikhuna dari wasiat Syaikh Muhammad Makki didalam ar-Rozan yang sangat cocok untuk generasi milenial ini : “Mari tengok diri kita masing-masing tergolong kategori manakah kita? Andaikan kita termasuk kategori yang sudah melakukan kebaikan, haruslah kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena kita telah mendapatkan pahala. Tapi jika kita puas diri, egois mengedepankan pendapat dan kesimpulan pribadi, mengandalkan hafalan yang sudah dicapainya, congkak untuk bertanya kepada orang alim yang mengkoreksi atas kesahihan atau kesalahan kita. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa dia termasuk orang yang ceroboh, tertipu dan buruk serta mendapat dosa yang berat. Kemudian jika engkau termasuk orang yang tidak terampil berbicara atau tidak menemukan orang yang mengajarkannya kepada kebenaran, ketahuilah sesusungguhnya Allah tidak membebankan kepada setiap individu kecuali dia mampu, namun kita wajib mengerahkan seluruh daya upaya sehingga setelah itu Allah menciptakan kemudahan”.