
Masa-masa berthalabul ilmi di pondok pesantren menjadi masa penempaan dan pendidikan karakter santri menuju pribadi yang “shalah dunyan wa ukhran” (berkualitas dunia akhirat). Demi visi itu, para santri Pondok Pesantren Ma’hadul Ulum Asy-Syariyyah tidak hanya ditekankan dari sisi ilmiahnya saja tapi juga amaliyah, akhlak, tarbiyah ruhiyah bahkan muasyarah bil ma’ruf. Dalam sisi amaliah misalnya, santri dibiasakan untuk menghidupkan amal-amal salih dalam kesehariannya, di antaranya adalah shalat berjamaah lima waktu.
Salah satu peraturan di Pondok Pesantren Ma’hadul Ulum Asy-Syar’iyyah ini adalah mewajibkan para santri untuk selalu melaksanakan shalat berjama’ah lima waktu. Ada beberapa alasan mengapa shalat berjamaah penting menjadi sebuah peraturan wajib. Dari sudut pandang agama, shalat berjamaah lima waktu mempunyai fadilah yang besar. Di samping pahala setara dengan salat munfarid 27 kali, shalat berjamaah juga menanamkan jiwa solidaritas dan sangat sesuai dengan unsur kolektifitas yang menjadi tonggak dalam kehidupan pesantren. Tidak jarang, shalat berjamaah juga dianggap sebagai syiar terbesar yang mencerminkan keaktivan suatu pesantren.
Saat waktu shalat sudah masuk, para pengurus akan melakukan obra’an, yaitu tradisi bergerilya secara door-to-door untuk membangunkan para santri yang masih tertidur dan mengarahkan mereka untuk bersiap-siap (isti’dad) shalat berjamaah dengan lekas berwudlu, memakai pakaian rapi dan menuju mushalla untuk melaksanakan intidzar. Dari sudut pandang agama, tradisi obra’an ini masuk dalam konsep amar makruf nahi mungkar.
Sepuluh menit sebelum iqamah, ditandai dengan pemukulan kentongan sehingga setelah mendengar tanda tersebut, para santri bergegas menuju mushalla untuk melaksanakan intidzar atau menunggu shalat berjama’ah. Banyak santri yang menggunakan waktu intidzar untuk melaksanakan qabliyyah, menambah hafalan, membaca Al-Qur’an, mutala’ah kitab, membaca wirid dan ibadah lainnya.
Imam shalat berjama’ah di pondok ini adalah beliau langsung hadlratus syaikh KH. Muhammad Sa’id Abdurrohim. Beliau istiqamah setiap hari mengimami shalat berjama’ah, kecuali apabila ada udzur hingga benar-benar tidak bisa mengimami, maka imamnya adalah badal dari pengurus yang ditugaskan untuk menjadi imam.
Setelah jama’ah usai, dilanjutkan dengan membaca wirid. Wirid yang dibaca di PP. MUS sedikit berbeda dengan kebiasaannya. Jika umumnya wirid setelah shalat dengan membaca baca takbir, tasbih, tahmid sebanyak 33 kali, maka di PP. MUS ini diperpendek hanya 10 kali, sesuai dengan sabda Nabi dalam kitab Adzkar Nawawiyah:
خصلتان -أوْ خَلَّتانِ- لا يُحافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إلاَّ دَخَلَ الجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ: يُسَبِّحُ اللَّهُ تَعالى دُبُرَ كُلّ صلاةٍ عَشْراً، ويحمدُ عَشْراً، ويكبرُ عَشْراً، فذلك خمسون ومائة باللسان، وألف وخمس مائة في الميزان الحديث
“Ada dua kebiasaan yang seorang muslim tidak menjaganya kecuali ia masuk surga. Dua kebiasaan itu ringan tapi yang dapat mengamalkan hanya segelintir, yaitu setiap kali selesai shalat fardlu membaca tasbih 10 kali, membaca hamdalah 10 kali dan membaca takbir 10 kali. Jumlahnya 150 kali di lisan, tapi 1500 pahala di mizan”
Di samping itu, salah satu hikmahnya adalah lebih memperbanyak porsi waktu belajar para santri, karena kita tahu bahwa “mencari ilmu lebih utama dari ibadah sunnah”.
Khusus setelah jama’ah shalat subuh, pembacaan wirid disambung dengan pembacaan Al-Qur’an serentak. Hal ini bertujuan membentuk kepribadian santri yang terbiasa membaca Al-Qur’an. Begitulah selayang pandang tentang aktivitas jama’ah di Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum As-Syar’iyyah.