Penulis: Kang Safdinar
Editor: Kang Santri

Khatib al-Baghdadi dalam tarikhnya meriwayatkan, bahwa al-Auza’i, seorang mujtahid mutlak pernah membid’ah-bid’ahkan Imam Abu Hanifah. Bahkan Abdullah bin Ahmad dalam al-Sunnah mengkisahkan, bahwa al-Auza’i sampai berkata:
ما ولد في الإسلام مولد أشر من أبي حنيفة
“Tidak ada orang yang dilahirkan dalam Islam yang lebih buruk dari Abu Hanifah.”
أبو حنيفة ينقص عرى الإسلام عروة عروة
“Abu Hanifah telah merobohkan satu persatu bangunan ajaran Islam.”
Tuduhan dan hujatan ini disebabkan beredarnya kabar burung yang diterima al-Auza’i mengenai sosok Abu Hanifah dan pendapat-pendapatnya yang seakan-akan mengedapankan nalar dibanding nash agama. Namun setelah keduanya bertemu secara langsung di Makkah dan terjadi dialog, lalu Abu Hanifah menjelaskan argumentasi pemikiran-pemikirannya, Imam al-Auza’i mencabut perkataannya. Kemudian beliau berbalik memuji Abu Hanifah dan menyesal karena tergesa-gesa menghakiminya:
غبطت الرجل بكثرة علمه ووفور عقله وأستغفر الله تعالى لقد كنت في غلط ظاهر
“Aku ghibthah (adalah iri hati dengan kenikmatan atau kehebatan orang lain tanpa ada rasa dengki kepadanya) dengan keluasan ilmu dan kecerdasan lelaki itu (Abu Hanifah). Aku meminta ampun kepada Allah Ta’ala ternyata selama ini aku benar-benar salah (mengenai sosok Abu Hanifah).”
Dari kisah Imam al-Auza’i di atas, maka memberi pelajaran kepada kita, bahwa gambaran dan pemahaman yang salah akan melahirkan kesimpulan yang salah, tentu kemudian akan berujung pada tindakan dan penyikapan yang keliru. Oleh karena itu, kita harus punya gambaran yang utuh dan valid dalam memahami saudara muslim kita. Apalagi di era digital dan media sosial saat ini, dimana informasi tersebar dan mengalir begitu deras tak terbendung. Antara hoaks dan fakta sulit diidentifikasi. Kita hidup di era dimana informasi bisa menjadi bahan bakar fitnah. Terlebih jika berkaitan dengan agama yang sensitif. Sebuah informasi yang belum tentu benar dengan mudahnya memancing emosi umat dan menjadi alat adu domba dan penyebab permusuhan sesama muslim. Bahkan akhir-akhir ini muncul fenomena di luar akal sehat, yakni hoaks dan tidaknya sebuah informasi dinilai berdasarkan kepentingan. Informasi bisa disebut benar jika menguntungkan, sesuai selera, bisa menjadi dasar pembenaran kelompoknya, dan menyudutkan pihak lain.
Jika telah beredar informasi yang berpotensi menyulut konflik, perpecahan dan permusuhan, maka penyelesaian masalah oleh Imam al-Auza’i dan Imam Abu Hanifah sangat patut dicontoh. Adalah bertemu untuk ber-tabayyun, berdialog, menjalin komunikasi dengan baik, dan silaturrahim. Dengan begitu, perpecahan dapat diredam dan permasalahan cepat terselesaikan. Di samping itu, bagi orang-orang yang tidak tahu menahu akar permasalahan seharusnya tak ikut nimbrung berkomentar dan menyebarkan info yang tak karuan jelasnya.. Kiat terbaik bagi orang yang tak tahu adalah diam, no comment, sehingga permasalahan tidak menjadi ruwet dan tambah ruwet. Imam Ghazali berkata:
لو سكت من لا يدري لقل الخلاف بين الخلق
“Andaikan orang-orang yang tidak berpengetahuan itu diam dan tidak ikut campur, niscaya akan semakin sedikit perselisihan di antara makhluk.”
Sekali lagi, demi ketentraman dan kebahagiaan bersama para umat Islam, sangat diharapkan bagi kita yang kurang begitu tahu akan titik persoalan untuk tidak ikut memperkeruh masalah. Ditambah kita berharap kepada para pakar, ahli, dan tokoh Islam yang berseberangan, semoga dapat berdialog dan komunikasi secara langsung dengan baik, demi menghindari dan meredam perpecahan dan permusuhan di antara umat.