Menu

Dark Mode
Keputusan Halaqoh Kebangsaan dan Ijma’ Ulama Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk Perubahan Indonesia Tentang Keharusan Memilih Pasangan Capres-Cawapres AMIN Berdasarkan Dalil Syar’i di Pondok Pesantren MUS Sarang Rembang Makna Jihad Membela Tanah Air di Era 5.0 MERAPATKAN BARISAN UNTUK PEMENANGAN AMIN DALAM PERSPEKTIF SYAR’I HUKUM MENYINGKAT KALIMAT THOYYIBAH! Meredam Fanatik ; Menguatkan Persatuan Dalam Pesta Politik. MENYAMBUT TAHUN POLITIK: HINDARI KONFLIK, PAKAI EMPATIK Setelah Komunisme,Masih Ada Kapitalisme Yang Perlu Dilawan! Malam Penuh Cinta Kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. MENGKAJI FIKIH DALAM PEMBERONTAKAN G30SPKI Sudahkah Kita Cinta Kepada Rasulullah? MEWASPADAI KEBANGKITAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA SEJARAH PKI PECI PUTIH; NUANSA BARU DALAM JAMA’AH MAKTUBAH Menyorot Fenomena Paham Islam-Kiri di Indonesia: Konvergensi atau Paradoks? KEBOHONGAN CITA-CITA MARXISME PRINSIP PENGELOLAAN HAK KEPEMILIKAN INDIVIDU DALAM ISLAM ; Menolak Tawaran Komunisme dalam Melawan Kapitalisme Kerusakan Ideologi Marxisme Perspektif Teologi Islam JEJAK HITAM PKI DARI IDELOGI KOMUNIS HINGGA SEJARAH KEJAHATAN DAN PENGIANATAN G30S Ku Putuskan Untuk …. Knock Out Rebahan ; Bangkit Sambut Masa Depan Ny. Hj. Chalimah Abdurrochim : Ibunda Hebat Di Balik Pengasuh PP. MUS Sarang BELA NEGARA INDONESIA MENURUT PANDANGAN ISLAM Menjawab Tuduhan Bid’ah Berdoa di Akhir dan di Awal tahun Esensi Sholawat Nabi Tragedi Kelam dan Dampaknya bagi Sejarah Indonesia Ma’lumat Bagi Santri dan Alumni PP. MUS Sarang Tentang Tesis KH. Imaduddin & Berita HOAX “Santri PP. MUS Sarang Dipecat berkaitan dengan tesis KH. Imaduddin” Maulid Nabi: Tidak Semua Kemutakhiran adalah Bidah Menyingkap Kehadiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama Saat Perayaan Maulid

Artikel

HUKUM BERKURBAN DENGAN MEMBELI HEWAN MELALUI PAYLATER PERSPEKTIF FIQIH

badge-check


					HUKUM BERKURBAN DENGAN MEMBELI HEWAN  MELALUI PAYLATER PERSPEKTIF FIQIH Perbesar


 Oleh : Ustadz Safdhinar M. An Noor. Alumnus Ma’had Aly Fahdlul Jamil Sarang & Magister of Islamic Studies UIN Maliki Malang

Menjelang hari raya Idul Adha, banyak masyarakat yang melakukan kurban sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan rezeki serta ketaatan kepada Allah SWT dan bentuk rasa sosial sekaligus solidaritas kepedulian terhadap sesama, terlebih bagi mereka yang tidak pernah sama sekali merasakan daging. Sebagai anjuran dari syariat agama Islam, moment hari raya Idul Adha ini dimanfaatkan oleh beberapa kelompok masyarakat mulai dari DKM Masjid, Organisasi Masyarakat, Lembaga Pendidikan seperti Sekolah, Pesantren dan sebagainya untuk turut melangsungkan prosesi kurban beserta pembagian dagingnya kepada masyarakat sekitar dan pihak-pihak yang membutuhkan. Disamping itu, salah satu sebab disyariatkannya kurban adalah sebagai media tolak bala’ (musibah). Seperti keterangan yang diutarakan oleh Al-Imam Abdul Wahâb as-Sya’rânî dalam karyanya Al-Mîzân Al-Kubrâ, sebagai berikut:

أن سبب مشروعية التضحية دفع البلاء عن المضحي وأهله وجميع أهل الدار من المسلمين

Artinya: “Sesungguhnya sebab disyariatkan berkurban adalah untuk menolak bala’ (musibah) dari orang yang berkurban, keluarganya, dan segenapanggota keluarganya yg muslim.” (Abdul Wahâb as-Sya’rânî [1565 M/973 H], Al-Mîzân Al-Kubrâ, [Beirut: Â’lam al-Kutub, 1989], juz II, halaman 52)

Karena momen ini dilaksanakan dalam setahun sekali, maka banyak dari mereka yang rela mengumpulkan uang supaya dapat membeli seekor kambing, sapi atau kerbau untuk dikurbankan. Namun dalam kebanyakan realita pelaksanaannya, banyak bermunculan masalah problematik seperti kurban arisan, kurban secara patungan, dan sebagainya. Semua itu dilakukan sebagai siasat agar dapat melakukan ibadah kurban. Bahkan baru-baru ini, karena maraknya PayLater dan pinjaman online maka muncul suatu inisiatif membeli hewan kurban dengan melalui transaksi PayLater melalui Bank (Livin PayLater, BRImo PayLater), OVO PayLater, GoPayLater, Dana PayLater, Kredivo PayLater, Akulaku PayLater, Home Credit, atau e-commerce seperti Shoppe PayLater, Lazada PayLater, Bukalapak PayLater, Bibli PayLater dan lainnya. Meskipun secara ekonomi kategori sulit tapi keinginan begitu elit untuk berkurban masih terngiang dalam hati. Ini menjadi polemik sehingga perlu dikaji bagaimana kacamata hukum fiqh melihat fenomena seperti ini. Walaupun kasus pembelian hewan untuk kurban melalui paylater ini mungkin terjadi namun jarang sekali, tidak menutup kemungkinan masih terdapat beberapa yang pastinya berasumsi untuk melakukannya.

Hukum Berkurban dan Batasan Mampu Menurut Para Ulama

Dalam kacamata fiqh, perlu dicermati bahwa hukum berkurban seperti keterangan yang terdapat dalam kitab al-Majmû’ Syarh al-Muhadzab dan al-Fiqh al-Manhajî adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi mereka yang mampu untuk berkurban, kecuali orang haji yang sedang berada di Mina. Karena hewan yang disembelih disana menjadi hadyu bukan kurban. Dan kurban bisa menjadi wajib ketika dinadzarkan atau disebabkan dua perkara; Pertama, orang tersebut menunjuk hewan miliknya yang layak untuk dijadikan kurban, kemudian mengatakan; “Ini adalah hewan kurbanku” atau “Aku akan mengkurbankan kambing ini“, dengan kata-kata tersebut status kurbannya menjadi wajib. Kedua, dirinya mewajibkan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dengan kurbannya tersebut. Contohnya saat orang tersebut mengatakan; “Demi Allah, saya wajib berkurban“, maka dengan kalimat tersebut kurban baginya hukumnya wajib. Seperti halnya seseorang yang mewajibkan suatu ibadah dari berbagai ibadah, yang harus dilakukan oleh dirinya, karena dengan begitu ibadah tersebut menjadi nadzar. (Musthafâ al-Bughâ, Musthafâ al-Khin, Alî asy-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî, [Dâr al-Qalam, tt.], juz I, halaman 232) (Yahyâ bin Syaraf An-Nawawî, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzab, [Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.], juz 8, halaman 383)

Perlu dipahami bahwa anjuran berkurban ini ditujukan hanya kepada mereka yang masuk kategori orang mampu. Dalam literatur klasik dan kontemporer, para ulama telah memberikan batasan mampu bagi seseorang yang hendak berkurban. Batasan mampu ini penting untuk diketahui secara teliti, karena implikasi dari inilah yang nanti menentukan apakah orang tersebut berhak untuk melakukan anjuran kesunnahan berkurban atau tidak. Seseorang dianggap mampu dalam berkurban adalah orang yang memiliki kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah). Berikut beberapa pendapat dari para ulama mengenai batasan dari mampu. Dalam kitab Hâsyiyah al-Bâjûrî karya Imam Ibrahîm al-Bâjûrî dijelaskan;

والمراد بالمستطيع: من يقدر عليها فاضلة عن حاجته وحاجة ممونه يوم العيد وأيام التشريق ؛ لأن ذلك وقتها ، ونظير ذلك:  زكاة الفطر ؛ فإنهم اشترطوا فيها أن تكون فاضلة عن حاجته وحاجة ممونه يوم العيد وليلته ؛ لأن ذلك وقتها

Artinya: “Adapun yang dimaksud al-Mustathî’ (orang yang memiliki kemampuan berkurban) adalah orang yang mempunyai kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang dibiayainya pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq, karena hari tersebut merupakan waktu disunnahkannya berkurban. Contoh kasus ini sama dengan konsep pada zakat fitrah. Karena ulama kalangan Syafi’iyah pun juga memberikan syarat batasan kemampuan pada zakat fitrah bagi orang yang punya kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang dibiayainya pada hari raya Idul Fitri dan malamnya, karena hari tersebut adalah waktu diwajibkannya zakat fitrah.” (Ibrahîm bin Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiyah al-Bâjûrî, [Beirut: Dâr al-Minhâj, tt.], juz IV, halaman 360)

Dalam kitab Mughnî al-Muhtâj ila Ma’rifati Mâ’anî Alfâdzi al-Minhâj, Imam al-Syirbini mengutip statement dari Imam Zarkasyi sebagai berikut:

قال الزركشي ؛ ولا بد أن تكون فاضلة عن حاجته وحاجة من يمونه على ما سبق في صدقة التطوع؛ لأنها نوع صدقة اهـ٠

Artinya: “Imam al-Zarkasyi berkata: Mestilah orang yang ingin melakukan kurban itu mempunyai kelebihan bagi keperluan dirinya dan orang yang ditanggungnya, sebagaimana syarat yang telah disebutkan dalam shodaqoh sunnah. Karena hal ini salah satu bentuk macam dari shodaqoh.” (Syamsuddîn Muhammad Al-Khatîb Al-Syirbinî, Mughnî al-Muhtâj ila Ma’rifati Mâ’anî Alfâdzi al-Minhâj, [Kairo: Dâr al-Hadîts, tt.], juz VI, halaman 123).

Senada juga keterangannya dalam kitab Busyrâ al-Karîm sebagai berikut;

وإنما تسن لحر أو مبعض مسلم رشيد، نعم؛ لأصل قادر بأن ملك زائداً عما يحتاجه يوم العيد وليلته وأيام التشريق ما يحصل بها لأضحية

Artinya: “Sesungguhnya disunnahkannya berkurban adalah bagi orang yang merdeka, budak muba’adl yang berstatus muslim dan pintar dan bagi orang yang mampu yaitu orang yang sudah memiliki kelebihan harta dari keseharian yang dirinya butuhkan pada hari raya ldul Adha dan hari-hari Tasyriq serta memiliki kadar harta yang cukup untuk berkurban.” (Sa’îd bin Muhammad Bâ ‘Alî Bâ’asyân [1270 H], Busyrâ al-Karîm, [Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.], juz I, halaman 693).

Dalam kitab Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu terdapat penambahan penjelasan tentang batasan orang yang mampu, sebagai berikut:

والمستطيع عليها عند الشافعية :)المستطيع( هو من يملك ثمنها زائداً عن حاجته وحاجة من يعوله يوم العيد وأيام التشريق، لأن ذلك وقتها، مثل زكاة الفطر، فإنهم اشترطوا فيها أن تكون فاضلة عن حاجته مَمونة يوم العيد وليلته فقط٠

Artinya: “Orang yang mampu dalam perspektif kalangan Syafi’iyah adalah orang yang memiliki uang seharga hewan kurban dan statusnya melebihi dari keperluannya dan kebutuhan orang yang bergantung kepadanya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq. Karena hari tersebut merupakan hari disunnahkannya melakukan kurban seperti pada hari raya Idul Fitri, Karena ulama kalangan Syafi’iyah pun juga memberikan syarat batasan kemampuan pada zakat fitrah bagi orang yang punya kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang dibiayainya pada hari raya Idul Fitri dan malamnya.” (Wahbah az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu, [Beirut: Dâr al-Fikr, tt.], juz IV, halaman 2708).

Penjelasan di atas bisa dipahami bahwa penekanan kesunnahan berkurban adalah hanya bagi orang yang mampu. Sedangkan batasan mampu untuk berkurban menurut pendapat ulama dari berbagai literatur adalah orang yang memiliki uang seharga hewan kurban dan mempunyai kelebihan dalam kebutuhannya dan keperluan orang yang ditanggung dan dibiayainya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq. Sehingga jika orang tersebut belum memenuhi kriteria batasan mampu, maka tidak sebaiknya dirinya memaksakan diri untuk melakukan kesunnahan terlebih jika meninggalkan sesuatu yang wajib bagi dirinya dikarenakan mengejar kesunnahan.

Hukum Membeli Hewan Kurban Melalui Paylater Perspektif Fiqh

Di era digital dan e-commerce yang merajalela, semua aktifitas yang bersifat ibadah dan muamalah, kewajiban dan kesunnahan sudah dapat dilakukan dan dibantu melalui perantara secara online. Realitas ini memberikan dampak pada berkembangnya problematika fiqh. Salah satunya adalah tentang hukum membeli hewan kurban melalui transaksi Paylater. Istilah PayLater menurut Investopedia bermakna “buy now pay later” (BNPL) atau disebut juga pinjaman cicilan point of sale (POS) yang berarti jenis pembiayaan jangka pendek yang memudahkan konsumen membeli secara online dan membayar dikemudian hari tanpa harus menggunakan kartu kredit. Lebih jelasnya PayLater merupakan sistem transaksi pembayaran yang ditunda, dalam arti kita bisa membeli barang tanpa harus membayar langsung, namun sebagai gantinya tiap membayar perbulan diserta bunga. Dalam konteks ini, pembeli membeli hewan kurban tidak secara tunai, namun secara berangsur-angsur beberapa bulan tergantung ketentuan yang ditetapkan.

Alasan seseorang membeli hewan untuk kurban dengan PayLater adalah faktor pribadi (gengsi) kepada lingkungan keluarga, saudara dan masyarakat. Tidak heran jika muncul statement jika banyak orang yang gayanya elit namun ekonomi sulit. Faktor lainnya adalah taraf religiusitasnya tinggi namun tingkat ekonominya masih rendah. Disamping faktor tersebut, beberapa asumsi kebanyakan masyarakat konsumtif sehingga mereka berinisiatif membeli hewan kurban dengan transaksi PayLater adalah karena fleksibilitas pembayaran. PayLater memberikan fleksibilitas dalam membayar, memungkinkan untuk memilih pembayaran menggunakan metode apa pun bahkan dengan virtual account. Transaksi PayLater ini berbeda dengan kredit, sebab PayLater menerapkan layanan full digital, sedangkan kartu kredit masih menggunakan fisik. Selain terdapat kemudahan positif seperti membuat masyarakat menjadi lebih konsumtif. Namun kerugian dari PayLater ini adalah dapat membuat tagihan pembayaran menjadi bengkak jika ada keterlambatan.

Status ‘aqad (transaksi) membeli hewan kurban (kambing atau sapi) menggunakan paylater dalam konteks fiqh terdiri dari dua transaksi; Pertama, bai’ maushûf fî dzimmah (jual beli dalam tanggungan). Transaksinya sah jika kambingnya ditentukan sebab merupakan syarat dalam praktik jual beli. Termasuk fâsid (rusak) jika tidak menentukan salah satu dari kambing yang ingin dibeli. Sebab tujuan ditentukan supaya salah satu komoditi tidak berupa dain (piutang), Karena Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm pernah membahas hukum menjual barang yang masih dalam tanggungan sebagai berikut, “Kaum Muslimin dilarang untuk jual beli utang dengan utang.” (Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î, Al-Umm, [Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.], juz 4, halaman 31)

Kedua, qordl (piutang), sebab praktik yang terjadi antara pihak pembeli yang berhutang dan pihak ketiga (selain penjual) sebagai yang menghutangi. Kemudian keuntungan suku bunga yang didapatkan oleh pihak ketiga (yang menghutangi) atas pembebanan kepada pembeli (yang berhutang) merupakan hasil manfaat dari piutang tersebut. Sehingga praktik membeli hewan kurban melalui PayLater termasuk dalam praktik riba qordl yang diharamkan kecuali persyaratan suku bunga dihilangkan di awal transaksi. Larangan tersebut berdasarkan Hadis berikut, “Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu termasuk riba.” HR. Al-Baihaqî

Simpulan

Dalam konteks hukum fiqh menyikapi tentang fenomena pembelian hewan kurban melalui transaksi PayLater harus dipilah dan diperinci secara detail dan cermat. Dalam kasus pembelian hewan kurban melalui PayLater, jika dilihat secara praktiknya status hewan kurban yang dibeli ini sudah sepenuhnya menjadi milik pembeli sebab pihak ketiga sudah membayar kepada pihak penjual. Hanya saja nantinya pembeli yang mempunyai tanggungan piutang kepada pihak ketiga saja (penyedia BNPL) dengan dibayar secara berangsur tiap bulan sesuai ketentuan yang disepakati.

Akan tetapi inti yang perlu diperhatikan adalah jika orang tersebut tidak masuk kategori mampu untuk berkurban, maka dirinya tidak disunnahkan berkurban apalagi memaksakan dengan membelinya melalui transaksi PayLater. Akan tetapi, jika orang tersebut kategori mampu dan layak berkurban dengan memenuhi persyaratannya, maka status dirinya sangat dianjurkan berkurban. Adapun pembeliannya yang non-tunai yaitu dilakukan melalui transaksi PayLater, hukumnya sah apabila dalam pembelian tersebut dirinya menentukan kambing yang dibeli, dan tidak menyepakati syarat yang ada saat akad berlangsung, namun transaksi dilakukan setelah barang sampai. Karena keharaman riba Qordl itu muncul saat syarat keuntungan tersebut disebutkan saat transaksi. Namun sebaliknya, jika perincian syarat itu tidak dipenuhi maka status transaksi pembeliannya menjadi fâsid (rusak). Kalau transaksi tetap dilanjutkan maka hukumnya haram. Meskipun begitu, keharaman ini merupakan faktor eksternal yang tidak mempengaruhi keabsahan dalam berkurban. Ibadah kurbannya tetap sah namun haram dikarenakan proses dalam transaksi pembeliannya.

Keabsahan ini berlaku jika hewan kurban telah memenuhi persyaratan seperti hewan termasuk binatang ternak, usia hewan minimal sesuai syariat, keadaan sehat dan bebas cacat saat disembelih, hak milik sendiri (bukan barang gadai) dan diperoleh secara halal bukan hasil pencurian, perampokan atau milik orang lain (termasuk bukan berstatus harta waris yang perlu dibagi dengan ahli waris lain), dan bukan hewan yang memakan najis karena dikhawatirkan terkena penyakit. Maka alangkah sebaiknya berkurban dengan membeli hewan kurban secara tunai selama dirinya mampu, tidak dengan menggunakan transaksi PayLater untuk mengantisipasi kejadian dan dampak negatif jika dikemudian hari terdapat permasalahan ekonomi dan sebagainya. Waallahu a’lam

 

 

 

 

Facebook Comments Box


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Menjawab Tuduhan Bid’ah Berdoa di Akhir dan di Awal tahun

25 June 2025 - 18:24

Esensi Sholawat Nabi

1 October 2024 - 18:53

Tragedi Kelam dan Dampaknya bagi Sejarah Indonesia

30 September 2024 - 18:55

Ma’lumat Bagi Santri dan Alumni PP. MUS Sarang Tentang Tesis KH. Imaduddin & Berita HOAX “Santri PP. MUS Sarang Dipecat berkaitan dengan tesis KH. Imaduddin”

24 September 2024 - 16:44

Maulid Nabi: Tidak Semua Kemutakhiran adalah Bidah

17 September 2024 - 19:27

Trending on Artikel

Discover more from PP. MUS Sarang

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading

batmantoto batmantoto situs togel
toto slot
slot88