Ramadhan memasuki penghujungnya. Salah satu amalan sunnah yang sangat dianjurkan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah i’tikaf, yaitu menetap di masjid. Keutamaan i’tikaf sangat besar, terutama ketika dilakukan untuk mencari Lailatul Qadar, malam yang lebih mulia dari seribu bulan.

I’tikaf dalam mazhab Syafi’i adalah menetap di dalam masjid, meskipun hanya sejenak, karena tempo minimum i’tikaf dalam mazhab Syafi’i adalah di atas masa thuma’ninah dalam rukuk atau bacaan subhanallah rabbiya al-‘adzimi wa bihamdihi.
Oleh karena itu, dianjurkan bagi setiap orang yang hendak masuk ke masjid kapanpun waktunya untuk meniatkan berdiamnya dia di masjid sebagai i’tikaf supaya dia memperoleh pahala i’tikaf karena setiap sebuah amal berdasarkan niatnya dan setiap orang mendapatkan pahala sesuai apa yang diniatinya.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata,
ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻠﺠﺎﻟﺲ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﻻﻧﺘﻈﺎﺭ ﺻﻼﺓ ﺃﻭ اﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﻌﻠﻢ ﺃﻭ ﻟﺸﻐﻞ ﺁﺧﺮ ﺃﻭ ﻟﻐﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻃﺎﻋﺔ ﻭﻣﺒﺎﺡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ اﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﺇﻥ ﻗﻞ ﺯﻣﺎﻧﻪ
“Dianjurkan bagi orang yang sedang duduk di masjid, baik untuk menunggu shalat, untuk mencari ilmu, atau kesibukan lainnya selama dalam hal ketaatan atau kemubahan untuk berniat I’tikaf karena dalam madzhab kita i’tikaf bisa sah dalam masa yang sangat sebentar”.
Bahkan lebih baik lagi jika I’tikaf tersebut dijadikan sebagai nadzar dengan mengucapkan “Aku bernazar untuk beri’tikaf di masjid ini selama aku berada di dalam masjid ini” agar ia memperoleh pahala atas ibadah wajib sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Busyra al-Kariim, karena pahala ibadah wajib lebih besar daripada ibadah sunnah.
📚 Rujukan:
1. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Syaikh Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi. Al-Muniriyyah. Juz 2. Hal. 178