Oleh : M. Salman Umar[1]

Pasca kejatuhan khilafah usmaniyah, umat Islam di seluruh penjuru dunia memulai masa-masa kelam menjadi jajahan imperialisme eropa, termasuknya adalah umat Islam yang berada di kawasan Indonesia. Bermacam-macam usaha untuk menghapuskan imperialisme barat pun digalakkan. Diawali pergerakan dari Serikat Dagang Islam yang dinahkodai HOS Cokroaminoto hingga Nahdlatul Ulama yang dipimpin Rais Akbar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, akhirnya membuahkan hasil yang diharapkan berupa kemerdekaan. Kesuksesan ini tidak luput dari perjuangan ulama dalam mendamaikan nasionalisme dan islamisme, dengan menjelaskan bahwa kedua hal tersebut tidaklah bertolak belakang.
Rasa nasionalisme merupakan fitrah alami manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka.” (Q.S. An-Nisa : 66)
Dalam firman tersebut, Islam mengakui bahwasanya meninggalkan tanah air merupakan hal yang berat sehingga sedikit sekali orang yang mau melakukannya. Hal ini dipicu oleh fitrah manusia yang mencintai tanah airnya sebagaimana fitrah manusia untuk mencintai diri dan nyawanya sendiri.[2]
Al-Ghazali dalam karangannya yang berjudul al-wasith mengatakan “pondasi dunia itu berdasarkan naluri dan tabiat manusia, sedang pondasi agama dikaitkan pada asas dan ketertiban dunia”, maka dari itu syariat Islam tidak perlu mengkodifikasikan persoalan cinta tanah air. Karena naluriah cinta tanah air yang ada dalam diri manusia sudah mengarahkan manusia ke jalan yang benar.[3]
Fitrah cinta tanah air pun juga melekat di dalam diri baginda nabi Muhammad saw.. Disebutkan oleh imam Bukhari dari riwayat Anas bin Malik, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, Beliau mempercepat jalan unta Beliau dan bila menunggang hewan lain Beliau memacunya karena kecintaannya (kepada Madinah)”. Dari hadis ini pula, al-hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa cinta tanah air merupakan sebuah hal yang disyariatkan.[4]
Terbukti dalam literatur fikih klasik disebutkan akan kewajiban menjaga tanah air Islam dari serangan pihak kafir. Kewajiban tersebut merupakan bentuk penolakan kesewenang-wenangan dan kezaliman dari pada imperialisme di muka bumi, serta sebagai bentuk implementasi firman Allah:[5]
وما أرسلنك إلا رحمة للعالمين
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Q.S. al-Anbiya’ ayat 107)
Paham inilah yang ada dibenak presiden Soekarno muda ketika menulis tulisan yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme & Marxisme”. Dalam tulisannya, Soekarno muda mengingatkan kaum nasionalis untuk tidak lupa bahwa di dalam ajaran Islam ada kewajiban bekerja untuk keselamatan orang negri yang ditempatinya. Baik berasal dari Arab, India, maupun Mesir, ketika mendiami wilayah “darul Islam” berkewajiban bekerja untuk keselamatan penduduk wilayah tersebut. Bahkan, di dalam ajaran Islam dilegalkan meminta bantuan penduduk wilayah Islam yang bergama non-Islam untuk ikut serta berjuang melawan orang-orang yang menyerang wilayah Islam.[6]
Pengakuan syariat terhadap cinta tanah air tidak berhenti disitu. Dalam masalah hijrah bagi orang yang berada di lingkungan orang kafir dikatakan bahwa hijrah tidak wajib selama bisa menegakkan syariat Islam di lingkungan tersebut atau orang tersebut mengasingkan diri dari lingkungan kafir.[7] Ini menjadi bukti bahwa Islam menjaga naluriah cinta tanah air.
Meskipun demikian, perlu dipertegas bahwa nasionalis yang diakui Islam dan dijaga adalah nasionalis yang tidak fanatik; nasionalis yang tetap menjaga persatuan umat Islam. Sehingga jiwa nasionalisme tidak dijadikan keyakinan ataupun tujuan, tapi hanya sebatas naluriah dan perantara menuju persatuan Islam.
[1] Mahasantri Semester VII MAFJ PP. MUS Sarang
[2]al-haqqul Mubin fi man talaaba bid din, Hal. 171
[3] Ibid, Hal. 163
[4] Fathul Bari Vol. 3 Hal. 621
[5] al-Mu’tamad Vol. 5 Hal. 09
[6] Ibid, Hal. 27
[7] Asnal Mathalib