
Beberapa hari lagi, kita akan memasuki salah satu bulan hijriah yang sangat spesial yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Se-spesial para santri ketika mendapatkan liburan panjang selama menimba ilmu di pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah (MUS), Sarang. Seperti yang kita tahu, hampir keseluruhan umat Islam di berbagai dunia menyambut bulan ini dengan penuh rasa cinta dan suka cita. Tapi anehnya, ada saja kelompok minoritas dari umat Islam yang justru merasa terbakar dengan kehadiran bulan ini. Mereka tak pernah absen menyambut bulan ini dengan penuh kebencian dan perbuatan menyakiti saudara muslim lainnya.
Mereka menganggap bahwa ekspresi cinta yang kita haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW ini sebagai perbuatan yang bid’ah, penuh kesesatan, dan sangat berdosa. Pandangan negatif ini pun diajarkan di depan umum, di mana hal ini kemudian menjadi keresahan tersendiri bagi umat Islam secara umum. Mengapa dalam urusan cinta kepada Nabi saja, kita sesama umatnya bahkan tidak dalam satu suara, atau paling tidak menghormati pilihan masing-masing golongan?
Polemik dan pro-kontra terhadap perayaan maulid memang selalu menarik untuk dibahas. Selalu menjadi perbincangan panas, tak mudah basi, dan tak absen dikaji saat bulan Rabi’ul Awwal tiba. Meski demikian, ia tidak pernah usai dan menyepakati pandangan yang sama sampai tulisan ini pun selesai dibuat, di mana tulisan ini bukan sebagai jurnal ilmiah yang menjustifikasi keabsahan maulidan dari dalil-dalil syar’i, tapi wujud keresahan batin tentang lamanya polemik ini.
Maulidan, dirunut dari segi bahasa, dapat diartikan sebagai kegiatan atau upacara untuk memeringati waktu kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam lingkungan tradisi kita, kegiatan ini biasa dilakukan dalam bentuk berkumpul bersama dalam satu majelis dengan bekal mahabbah Nabi dari rumah masing-masing. Dalam majelis itu, semua yang hadir turut berselawat, menyenandungkan mada’ih (kasidah pujian dan cinta) kepada Nabi, membaca sirah perjalanan hidup dan keteladanan Nabi, menyimak ceramah yang menumbuhkan kecintaan kepada Nabi, dan ditutup dengan doa. Semua itu adalah ekspresi cinta umat kepada Nabinya. Hanya sesederhana itu. Tapi mengapa sampai ada umat Islam yang membencinya. Dari mana akar masalah tersebut sehingga memunculkan pola pemikiran seperti ini?
Seandainya maulidan sendiri dianggap tidak pernah diajarkan oleh Nabi, dan seandainya merupakan hal baik maka orang-orang salaf kita yang akan pertama memulainya, maka ini perlu dirunut. Maulidan merupakan sebagai ekspresi kecintaan kepada Nabi. Nabi sendiri menanamkan ajaran yang kuat kepada umatnya tentang cinta kepada Nabi tanpa membuat batasan-batasan dalam pengekspresiannya. Misalnya, Nabi Muhammad sendiri mengekspresikan kecintaan atas kelahiran beliau sendiri melalui puasa senin (HR. Muslim). Para sahabat juga mengekspresikan kecintaan kepada Nabi dengan beragam cara. Ada yang berebut air wudlu beliau, keringat beliau, sampai helai rambut beliau. Sedangkan masyarakat kita, jangankan bertemu dengan beliau dan berbuat sebagaimana yang dilalakukan para sahabat, berziarah ke makam atau tempat-tempat bersejarah beliau saja tidak bisa karena jarak yang jauh. Maka mereka mengekspresikan kecintaan kepada Nabi dalam bentuk paling sederhana melalui kegiatan maulidan.
Seandainya maulidan dianggap membatasi cinta Nabi dalam hari atau bulan tertentu, maka ini adalah anggapan yang keliru. Para pengamal maulidan tidak pernah membatasi cinta Nabi dalam hari tertentu. Ulama dan pakar sejarah sendiri masih berselisih tentang tanggal pasti kelahiran Nabi Muhammad. Namun semuanya sepakat Nabi Muhammad dilahirkan di bulan maulid. Maka kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad dalam bulan Rabiul Awwal, berapapun tanggalnya. Dan sekalipun diacarakan hanya di bulan Rabiul Awal, logikanya, saat kita merayakan hari kelahiran kita, apakah itu tandanya kita membatasi cinta kita kepada diri kita sendiri hanya saat hari ultah kita saja? Tentu saja tidak masuk akal.
Seandainya maulidan dianggap menyerupai tradisi agama lain dalam merayakan kelahiran orang yang mereka agungkan, maka anggapan ini juga perlu diluruskan. Terlepas dari kesamaannya, apakah merayakan kelahiran orang yang diagungkan adalah keliru dalam penilaian syara’? Itu sesuatu yang normal sekali dalam bentuk kecintaan dan loyalitas. Warga Indonesia merayakan hari kelahiran (kemerdekaan) negara karena kecintaan dan loyalitas mereka. Kita merayakan kelahiran diri atau keluarga karena bentuk kecintaan kita. Bahkan Muhammadiyah sendiri juga merayakan kelahiran organisasi mereka dalam Milad Muhammadiyah. Jadi apa perbedaan antara maulid dan milad?
Seandainya maulidan dianggap sebagai ibadah yang diada-adakan dalam Islam, maka ini adalah anggapan yang keliru. Harus dibedakan antara ibadah murni dan instrumen ibadah. Instrumen ibadah sendiri hanya sebagai sarana dalam tanda kutip wasilah untuk mencapai ibadah. Sedangkan wasilah sendiri sifatnya fleksibel mengikuti zaman. Mendirikan pesantren, madrasah diniyah, atau yayasan Islam itu wasilah di zaman sekarang. Ibadahnya adalah pencarian ilmu dan pengembangan Islam itu sendiri yang sudah ada di periode Islam awal melalui halakah ilmu dan majelis zikir. Begitu pula dengan Maulidan, sedekah, pembacaan selawat, qasidah madah Nabi, mau’izah, pembacaan teladan Nabi semuanya adalah ibadah yang bukan diada-ada dalam Islam. Sedangkan mengumpulkan masyarakat dalam satu majelis dalam rangkaian acara tertentu itu hanyalah instrumen.
Seandainya maulidan dianggap sebagai penambahan hari raya Islam, maka ini juga anggapan yang keliru. Hari raya Islam (sehingga disyariatkan salat id) dalam keyakinan pengamal maulidan selamanya tetap hanya dua. Meskipun begitu, hari besar dan bersejarah Islam sejatinya masih banyak lainnya seperti peristiwa hijrah, isra’ mi’raj, nuzul qur’an dan semuanya pantas untuk direnungi dan dipetik berkahnya.
Sebagai perbandingan, orang-orang salaf kita dulu mengenal betul profil Nabi. Bandingkan dengan orang-orang kita sekarang. Seandainya tidak ada maulidan, mungkin banyak masyarakat yang kurang mengenal profil Nabi. Tapi berkat adanya peringatan maulid setiap tahun, masyarakat lebih mengenal Nabi, perjuangan dakwah beliau, sifat-sifat mulia beliau, sunnah-sunnah dan banyak lagi. Umat Islam pun semakin bangga dengan Nabi dan agama mereka. Jadi, mengapa hal ini perlu dibenci?
Penulis: Kang Kafabi
Editor: Kang Zaka