Oleh : M. Dwi Wahyu Ardiansyah (Mahasantri MAFJ Semester 5)
Bulan Safar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriah atau kalender Islam. Setelah bulan Muharram, Safar menandai awal periode baru dalam tahun lunar Islam. Walaupun secara umum dianggap sebagai bulan yang lebih “normal” dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya dalam konteks perayaan dan ibadah, bulan ini memiliki signifikansi dan tradisi khusus dalam kepercayaan sebagian umat Islam.
- Asal Usul Nama
Nama “Safar” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “kosong” atau “kosongkan”. Ada beberapa penafsiran mengenai asal usul nama ini. Salah satu penafsiran adalah bahwa nama tersebut merujuk pada waktu di mana orang-orang Arab kuno sering bepergian untuk berdagang dan mengisi waktu mereka yang kosong. Penafsiran lain menghubungkan nama ini dengan keyakinan lama bahwa bulan ini adalah waktu yang tidak membawa keberuntungan atau berkah.
- Safar dalam Kepercayaan Lokal
Secara umum, bulan Safar tidak memiliki seremonial khusus dalam ajaran Islam seperti bulan Ramadan atau Dzul Hijjah. Namun, ada sebuah tradisi dan keyakinan dari sebagian masyarakat Islam yang berkaitan dengan bulan ini. Di beberapa komunitas Muslim, bulan Safar dianggap sebagai waktu yang kurang beruntung atau penuh tantangan. Anggapan ini diwariskan oleh kepercayaan budaya yang ada secara turun-temurun. Salah satu dari kepercayaan yang beredar adalah Rabu Pamungkas di bulan safar yang dianggap sebagai hari nahas.
Penting untuk dicatat bahwa dalam ajaran Islam yang murni, tidak ada dasar yang kuat untuk menganggap bulan Safar sebagai bulan yang membawa kemalangan. Islam mengajarkan bahwa semua waktu yang diciptakan Allah adalah berkah dan bahwa keyakinan semacam itu tidak memiliki dasar dalam ajaran agama.
- Tradisi “Rebo Wekasan”
Tradisi ini dikenal di beberapa komunitas Muslim sebagai “Rabu Pamungkas Bulan Safar”, “Rabu Terakhir Safar”, atau “Rebo Wekasan”, sebuah kebiasaan yang diadopsi dan diyakini oleh sebagian masyarakat di berbagai belahan dunia Islam, terutama Indonesia. Meskipun tradisi ini tidak diakui secara universal di seluruh dunia Muslim dan menuai polemik terkait dasarnya dari ajaran Islam, ia memegang peranan penting dalam budaya dan praktik peribadatan di beberapa komunitas. Istilah “wekasan” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “terakhir” atau “akhir.” Tradisi ini melibatkan sejumlah ritual dan doa yang dilakukan pada hari Rabu terakhir bulan Safar, dengan keyakinan bahwa hari tersebut merupakan waktu yang kurang beruntung atau penuh kesulitan.
- Potret Tradisi yang Berlangsung
“Rebo Wekasan” sering kali dihubungkan dengan kepercayaan tradisional mengenai bulan Safar sebagai waktu yang kurang beruntung atau penuh tantangan. Beberapa komunitas Muslim percaya bahwa Rabu terakhir dari bulan Safar adalah hari yang dianggap membawa kesialan, dan mereka melaksanakan berbagai ritual atau doa untuk menghindari atau mengatasi kesulitan yang mungkin timbul.
Di berbagai daerah, Rabu Akhir Safar bisa diisi dengan berbagai kegiatan seperti:
- Doa dan Zikir: Beberapa orang mengadakan doa khusus atau bacaan zikir untuk meminta perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT. Ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi atau menghindari kesulitan yang mereka yakini akan datang pada hari tersebut.
- Berkumpul dan Tahlilan: Di beberapa komunitas, ada tradisi berkumpul di masjid atau rumah untuk melakukan tahlilan atau bacaan doa bersama. Ini adalah kesempatan untuk memperkuat ikatan sosial dan memperbanyak ibadah.
- Sedekah dan Amal: Beberapa orang berusaha melakukan amal atau sedekah sebagai bentuk pembersihan diri dan permohonan agar diberikan keselamatan dan berkah.
- Perayaan Khusus: Di beberapa daerah, Rabu Akhir Safar mungkin disertai dengan perayaan atau ritual khusus yang berkaitan dengan budaya lokal. Ini bisa mencakup berbagai bentuk kegiatan sosial atau upacara.
- Kepercayaan “Rebo Wekasan” dalam Literatur Islam
Anggapan menyebut Rebo Wekasan sebagai hari yang buntung atau membawa kemalangan sebenarnya tidak memiliki landasan kuat dalam agama Islam. Para ulama seperti Imam al-Alūsī dan Imam Ibnu Hajar al-Haitamī tegas menolak opini hari buntung. Beliau berdua menegaskan bahwa keberuntungan dan kesialan adalah kehendak Allah semata, bukan terkait waktu tertentu.
Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, dalam muktamarnya tahun 1928 di Surabaya juga melarang keyakinan terhadap hari nahas. Meski demikian, Imam al-Ḥalīmī dan Ibnu Ziyād memiliki pandangan sedikit berbeda, beliau berdua mengakui adanya pola kebiasaan akan keberuntungan pada hari-hari tertentu, namun tetap menekankan bahwa semua adalah kehendak Allah semata.
Maka dari itu, hendaknya kita menjauhi kepercayaan yang dipolemikkan oleh sebagian kalangan. Hal ini bukan berarti menentang tradisi, melainkan bentuk penjagaan iman. Bagi yang mengikuti, penting untuk menancapkan kuat-kuat keyakinan bahwa tidak adanya pengaruh sebuah hari terhadap nasib seseorang. Yang terpenting adalah selalu berserah kepada Allah dan berusaha sebaik mungkin dalam kehidupan