Oleh : Abdullah Kafabi (Asatidz PP. MUS Sarang)
Judul tulisan ini mungkin membingungkan bagi sebagian pembaca. Biasanya, kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah nabi terakhir, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Surah al-Ahzāb ayat 40, yang menegaskan posisi beliau sebagai Khatam al-Nabiyyin—penutup para nabi. Ayat tersebut berbunyi:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad bukanlah ayah dari salah seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzāb [33]: 40).
Namun, tulisan ini mencoba mengajak pembaca kepada sebuah diskursus yang jarang dibahas namun tetap relevan hingga kini. Ketika ditanyakan siapakah nabi pertama, mayoritas orang akan menjawab bahwa Nabi Adam adalah nabi pertama sekaligus manusia pertama. Meskipun demikian, penelitian terhadap sejumlah riwayat hadis menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah diangkat menjadi nabi bahkan sebelum penciptaan Nabi Adam. Bagaimana diskursus ini terjadi?
Takhrij Hadis “Muhammad Sebagai Nabi Pertama” dalam Literatur Klasik
Salah satu ulama terkemuka yang mendalami gagasan ini adalah Imam al-Suyūṭī. Meskipun bukan orang pertama yang memunculkan ide ini, beliau memperkuat dan mendokumentasikannya dalam karyanya yang berjudul “Al-Khasā’is al-Kubrā”, sebuah kitab yang mengkaji keutamaan Nabi Muhammad ﷺ berdasarkan berbagai riwayat hadis. Dalam kitab tersebut, Imam al-Suyūṭī mengawali dengan bab berjudul “Bab Kekhususan Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi Pertama dalam Penciptaan, Kenabiannya yang Mendahului Para Nabi Lain serta Pengambilan Sumpah Para Nabi untuk Iman Kepadanya.”
Bab ini mencantumkan 11 riwayat hadis yang mengindikasikan bahwa kenabian Nabi Muhammad ﷺ ditetapkan sebelum Nabi Adam diciptakan. Salah satu hadis utama yang dikutip adalah dari riwayat Maisarah al-Fakhr, yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
يا رسول الله متى كنت نبيا
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi nabi?”
Nabi ﷺ menjawab:
وآدم بين الروح والجسد
“Ketika Adam masih antara ruh dan jasad.”
Hadis ini diriwayatkan oleh banyak ulama hadis otoritatif, termasuk Imam Ahmad, Imam al-Bukhārī dalam Tarīkh-nya, Imam al-Ṭabrānī, Imam al-Hākim, dan Imam al-Baihaqī. Hadis ini juga memiliki berbagai jalur riwayat lain berbagai redaksi yang mirip. Adapun pandangan ulama terhadap status hadis ini; Imam al-Hākim menilainya sahih, sementara Imam al-Tirmidzī dalam riwayat lain menyatakan bahwa sanadnya hasan sahih.
Pandangan Imam Ibn Taimiyyah
Imam Ibn Taimiyyah, tokoh ulama yang menjadi simbol pemikiran aliran Salafi-Wahabi hari ini, berpendapat berbeda terkait pemaknaan hadis ini dalam kitabnya, “Majmū’ al-Fatāwā”. Menurut Imam Ibn Taimiyyah, gagasan bahwa Nabi Muhammad ﷺ sudah menjadi nabi sebelum Nabi Adam diciptakan adalah salah tafsir terhadap hadis tersebut dan sikap kebodohan terhadap sejarah nabi itu sendiri. Adapun makna hadis itu menurut Ibn Taimiyyah merujuk pada pengetahuan Allah bahwa Muhammad ﷺ akan menjadi nabi di masa mendatang, bukan kenabian yang telah diwujudkan secara aktual sebelum penciptaan Adam.
Imam Ibn Taimiyyah menyatakan
ولهذا يغلط كثير من الناس في قول النبي ﷺ في الحديث الصحيح الذي رواه ميسرة قال: ﴿قلت: يا رسول الله متى كنت نبيا؟ وفي رواية – متى كتبت نبيا؟ قال: وآدم بين الروح والجسد﴾ . فيظنون أن ذاته ونبوته وجدت حينئذ وهذا جهل فإن الله إنما نبأه على رأس أربعين من عمره
Artinya: “Oleh karena itu, banyak orang yang salah dalam memahami perkataan Nabi ﷺ dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Maisarah yang berkata: ‘Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, sejak kapan engkau menjadi nabi?” Dalam riwayat lain: “Kapan engkau ditetapkan sebagai nabi?” Beliau menjawab: “Ketika Adam masih berada antara ruh dan jasad.”‘ Mereka mengira bahwa dzat dan kenabian beliau telah ada saat itu, dan ini adalah kebodohan. Sesungguhnya Allah mengangkatnya sebagai nabi pada usia 40 tahun.”
Imam Ibn Taimiyyah berargumen bahwa kenabian Nabi Muhammad ﷺ baru diangkat secara nyata ketika beliau berusia 40 tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dalam beberapa ayat. Misalnya, dalam QS. Yūsuf [12]: 3:
وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) sebelum (wahyu) diturunkan kepadamu adalah termasuk orang-orang yang lalai.”
Juga dalam QS. aḍ-Ḍuḥā [93]: 7:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.”
Menurut Imam Ibn Taimiyyah, ayat-ayat ini menunjukkan bahwa sebelum menerima wahyu, Nabi Muhammad ﷺ berada dalam kondisi yang sama dengan manusia lainnya, tanpa kenabian atau sifat terjaga (ma’shum). Jika beliau sudah menjadi nabi sebelum lahir, maka tidak pantas bagi beliau memiliki sifat-sifat “kelalaian” atau “kebingungan” yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut. Ini sejalan dengan pendapatnya yang cukup kontroversial bahwa para nabi sebelum menerima kenabian bukanlah sosok yang maksum (terjaga dari dosa) dan mungkin melakukan dosa kecil.
Oleh karena itu, Imam Ibn Taimiyyah menyimpulkan bahwa pemaknaan hadis tersebut lebih menekankan pada penetapan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal ini dianalogikan Ibn Taimiyyah seperti penetapan rezeki, ajal, amal, kesengsaraan dan kebahagiaan anak yang akan dilahirkan setelah penciptaan jasadnya dan sebelum ditiupkannya ruh ke dalamnya. Saat penetapan tersebut, rezeki, ajal, amal, dan kesengsaraan bukanlah sesuatu yang sudah aktual terwujud.
Dalam kitabnya tersebut, Ibnu Taimiyyah bahkan mengatakan,
ومن قال: إن النبي ﷺ كان نبيا قبل أن يوحى إليه فهو كافر باتفاق المسلمين
“Barangsiapa yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi sebelum diwahyukan kepadanya (umur 40 tahun sesuai sejarah kenabian beliau), maka dia kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”
Namun, klaim dari Ibnu Taimiyyah mengenai adanya ijmā’ (kesepakatan) atas kekafiran ini perlu dikritik. Secara umum, seseorang hanya dapat dianggap kafir berdasarkan ijmā’ jika keyakinannya secara tegas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama (ma’lūm min ad-dīn bi aḍ-ḍarūrah). Pertanyaannya adalah, apakah ada prinsip-prinsip dasar agama yang disalahi? Adakah ulama terdahulu yang telah mencatat ijmā’ ini? Atau, setidaknya, adakah ulama sezaman yang mendukung klaim ijmā’ ini?
Pandangan Imam Subkī
Sebaliknya, ulama yang sezaman dengan Ibn Taimiyyah seperti Imam Taqīyuddīn al-Subkī justru mendukung gagasan kenabian Nabi Muhammad ﷺ sebelum Nabi Adam. Beliau berpendapat bahwa gagasan ini menemukan keselarasan dengan Al-Qur’an Surah Āli ‘Imrān ayat 81:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.'” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 81).
Menurut para ulama mufassir, “rasul” yang dimaksud dalam ayat ini merujuk kepada Nabi Muhammad. Dengan kata lain, semua nabi yang diutus oleh Allah telah diambil sumpahnya untuk beriman kepada Nabi Muhammad dan mendukung risalahnya. Mereka juga diperintahkan untuk memastikan umat mereka beriman kepada beliau. Kewajiban ini, yang dikenakan pada nabi-nabi terdahulu serta umat mereka, mempertegas kedudukan Nabi Muhammad sebagai nabiyyul anbiyā’ (nabinya para nabi) bahkan secara implisit para nabi terdahulu beserta umat mereka digolongkan ke dalam golongan umat Nabi Muhammad. Hal ini sejalan dengan konsep universalitas risalah Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat kepada “seluruh alam” sebagaimana QS. al-Anbiyā’ [21]: 107. Dalam sebuah hadis disebutkan,
بُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً
“Aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Ungkapan “seluruh manusia” secara logis mencakup manusia yang hidup sebelum masa beliau, termasuk para nabi, bahkan hingga Nabi Adam sebagai manusia pertama. Universalitas misi profetik ini menemukan fondasinya jika kita memahami bahwa Nabi Muhammad telah ada sebagai nabi sebelum penciptaan Nabi Adam. Dengan demikian, beliau secara harfiah merupakan nabi bagi seluruh umat manusia, termasuk bagi para nabi sebelumnya. Para nabi sebelum Nabi Muhammad tidak lain hanya bertugas sebagai kepanjangan tangan dari kerasulan Nabi Muhammad di masanya.
Oleh karena itu, Imam al-Subkī menjelaskan bahwa siapapun yang memahami hadis kenabian Nabi Muhammad sebelum Adam hanya dalam tataran ilmu Allah maka sesungguhnya akalnya tidak sampai pada hal ini.
ويتبين بذلك معنى قوله ﷺ «كنت نبيا وآدم بين الروح والجسد» وإن من فسره بعلم الله بأنه سيصير نبيا لم يصل إلى هذا المعنى لأن علم الله محيط بجميع الأشياء
Artinya: “Dengan ini, jelaslah makna sabdanya ﷺ: ‘Aku sudah menjadi nabi ketika Adam masih antara ruh dan jasad.’ Mereka yang menafsirkannya sebagai pengetahuan Allah bahwa ia akan menjadi nabi, tidak mencapai makna ini. Karena pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu.”
Selanjutnya, Imam Tājuddīn al-Subkī menyatakan,
Artinya: “Dengan ini, jelaslah makna sabdanya ﷺ: ‘Aku sudah menjadi nabi ketika Adam masih antara ruh dan jasad.’ Mereka yang menafsirkannya sebagai pengetahuan Allah bahwa ia akan menjadi nabi, tidak mencapai makna ini. Karena pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu.”
Selanjutnya, Imam Tājuddīn al-Subkī menyatakan,
ولو كان المراد بذلك مجرد العلم بما سيصير في المستقبل لم يكن له خصوصية بأنه نبي وآدم بين الروح والجسد لأن جميع الأنبياء يعلم الله نبوتهم في ذلك الوقت وقبله فلا بد من خصوصية للنبي ﷺ لأجلها أخبر بهذا الخبر إعلاما لأمته ليعرفوا قدره عند الله فيحصل لهم الخير بذلك
“Jika yang dimaksud hanyalah pengetahuan tentang apa yang akan terjadi di masa depan, maka tidak ada kekhususan bahwa ia adalah nabi ketika Adam masih antara ruh dan jasad. Karena Allah mengetahui kenabian semua nabi pada waktu itu dan sebelumnya. Maka harus ada kekhususan bagi Nabi ﷺ yang karenanya ia memberitakan hal ini untuk memberitahu umatnya agar mereka mengetahui kedudukannya di sisi Allah, sehingga mereka mendapatkan kebaikan dengan itu.”
Menjawab Isykalan atas Gagasan Kenabian Nabi Muhammad sebelum Adam
Meskipun demikian, gagasan Muhammad sebagai nabi pertama menimbulkan beberapa tantangan konseptual. Salah satunya adalah bagaimana mengkompromikan gagasan ini dengan fakta bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama. Jika Adam adalah manusia pertama, bagaimana mungkin Nabi Muhammad ﷺ, yang datang jauh setelahnya, dianggap sebagai nabi pertama?
Penjelasan yang sering diberikan oleh ulama adalah bahwa meskipun Adam adalah manusia pertama yang diciptakan, kenabian Nabi Muhammad ﷺ sudah ditetapkan oleh Allah bahkan sebelum penciptaan Adam. Ini ditunjukkan melalui berbagai riwayat yang menyebut bahwa ketika Nabi Adam melihat ‘Arsy, ia menyaksikan kalimat “Muḥammadun Rasūlullāh” telah tertulis di sana. Hal ini menunjukkan bahwa kerasulan dan kenabian Nabi Muhammad ﷺ adalah sesuatu yang sudah ada sebelum Adam.
Karena Nabi Muhammad telah disifati sebagai seorang nabi dan rasul pada masa tersebut, maka mauṣūf-nya, yaitu Nabi Muhammad sendiri, secara otomatis harus sudah ada. Adapun wujudnya belum dalam bentuk fisik manusia karena wujud fisik pertama manusia adalah Nabi Adam. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: bagaimana wujud Nabi Muhammad saat beliau sudah menjadi nabi sebelum penciptaan Adam? Imam Tājuddīn al-Subkī menjawab dengan penjelasan yang mendalam:
فقد تكون الإشارة بقوله: كنت نبيا إلى روحه الشريفة ﷺ وإلى حقيقته — ، فحقيقة النبي ﷺ قد تكون من قبل خلق آدم آتاها الله ذلك الوصف بأن يكون خلقها متهيئة لذلك وأفاضه عليها من ذلك الوقت، فصار نبيا وكتب اسمه على العرش وأخبر عنه بالرسالة ليعلم ملائكته وغيرهم كرامته عنده
Artinya: “Bisa jadi yang dimaksud dengan ucapannya ‘Aku sudah menjadi nabi’ merujuk kepada ruhnya yang mulia ﷺ dan hakikatnya. — Hakikat Nabi ﷺ mungkin telah ada sebelum penciptaan Adam. Allah telah memberinya sifat kenabian tersebut, yakni dengan menciptakan ruh beliau dalam keadaan siap menerima tugas kenabian dan melimpahkan sifat itu kepadanya sejak waktu itu. Maka, beliau pun menjadi nabi, dan namanya tertulis di ‘Arsy, serta diberitakan tentang kerasulannya agar para malaikat dan makhluk lainnya mengetahui kemuliaan beliau di sisi-Nya.”
Pertanyaan konseptual berikutnya mengenai bagaimana mengkompromikan gagasan ini dengan kronologi kenabian Nabi Muhammad yaitu bahwa beliau diangkat menjadi Nabi pada umur 40 tahun seperti yang terekam dalam sejarah saat wahyu pertama diturunkan di Gua Hira?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Imam Tājuddīn al-Subkī menjelaskan bahwa peristiwa diangkatnya Nabi Muhammad sebagai nabi pada usia 40 tahun harus dipahami dalam konteks hubungan antara Allah dan umat yang diutuskan Nabi Muhammad kepadanya (mursal ilaihim).
Artinya, meskipun secara hakikat Nabi Muhammad sudah ditetapkan sebagai nabi oleh Allah jauh sebelum penciptaan Nabi Adam, umat di masa Nabi Muhammad tidak dikenakan kewajiban (taklīf) untuk mengimani beliau hingga tiba tanda lahiriah yang bersifat zahir, yakni turunnya wahyu pertama melalui malaikat Jibril.
Dalam hal ini, taklīf masyarakat untuk beriman kepada Nabi Muhammad membutuhkan sabab (penyebab) di alam zahir. Sabab ini adalah peristiwa turunnya wahyu pertama, yang menjadi tanda lahiriah pengangkatan kenabian di dunia fisik. Dengan demikian, pengangkatan Nabi Muhammad di usia 40 tahun bukanlah saat dimulainya kenabian beliau di sisi Allah, melainkan saat di mana tugas kenabian itu mulai ditampakkan secara nyata kepada umat manusia. Peristiwa ini menjadi sabab zahir yang mewajibkan umat manusia untuk beriman kepada Nabi Muhammad dan menerima risalah yang dibawanya. Adapun hikmah dipilih umur 40 tahun untuk sabab zahir ini adalah karena di usia tersebut Nabi Muhammad mencapai puncak kesempurnaan fisik dan akal manusiawi sehingga siap mengemban tugas dakwah sebagai nabi.
Pertanyaan konseptual berikutnya mengenai bagaimana mengkompromikan gagasan ini dengan kronologi kenabian Nabi Muhammad yaitu bahwa beliau diangkat menjadi Nabi pada umur 40 tahun seperti yang terekam dalam sejarah saat wahyu pertama diturunkan di Gua Hira?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Imam Tājuddīn al-Subkī menjelaskan bahwa peristiwa diangkatnya Nabi Muhammad sebagai nabi pada usia 40 tahun harus dipahami dalam konteks hubungan antara Allah dan umat yang diutuskan Nabi Muhammad kepadanya (mursal ilaihim).
Artinya, meskipun secara hakikat Nabi Muhammad sudah ditetapkan sebagai nabi oleh Allah jauh sebelum penciptaan Nabi Adam, umat di masa Nabi Muhammad tidak dikenakan kewajiban (taklīf) untuk mengimani beliau hingga tiba tanda lahiriah yang bersifat zahir, yakni turunnya wahyu pertama melalui malaikat Jibril.
Dalam hal ini, taklīf masyarakat untuk beriman kepada Nabi Muhammad membutuhkan sabab (penyebab) di alam zahir. Sabab ini adalah peristiwa turunnya wahyu pertama, yang menjadi tanda lahiriah pengangkatan kenabian di dunia fisik. Dengan demikian, pengangkatan Nabi Muhammad di usia 40 tahun bukanlah saat dimulainya kenabian beliau di sisi Allah, melainkan saat di mana tugas kenabian itu mulai ditampakkan secara nyata kepada umat manusia. Peristiwa ini menjadi sabab zahir yang mewajibkan umat manusia untuk beriman kepada Nabi Muhammad dan menerima risalah yang dibawanya. Adapun hikmah dipilih umur 40 tahun untuk sabab zahir ini adalah karena di usia tersebut Nabi Muhammad mencapai puncak kesempurnaan fisik dan akal manusiawi sehingga siap mengemban tugas dakwah sebagai nabi.
Pandangan Imam Ahmad dan Ibn Rojab al-Hanbali
Dalam diskursus ini, sebenarnya Imam Ibn Taimiyyah telah menyelisihi imam madzhabnya yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hambal sendiri adalah salah satu perawi hadis “nubuat pra eksistensial ini” ini. Ahmad meriwayatkan dari ‘Irbadh bin Sariyah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
إني عند الله في ام الكتاب لخاتم النبيين وإن آدم لمنجدل في طينته
“Sesungguhnya aku di sisi Allah dalam Ummul Kitab adalah penutup para nabi, dan Adam masih terbaring dalam tanahnya.”
Hal ini dijelaskan oleh salah seorang ulama Hanabilah yaitu Imam Ibn Rajab al-Hanbalī dalam kitab Laṭā’if al-Ma’ārif. Ia menyatakan:
وقد استدل الإمام أحمد بحديث العرباض بن سارية هذا على أن النبي ﷺ لم يزل على التوحيد منذ نشأ. ورد بذلك على من زعم غير ذلك.
Artinya: “Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan hadis dari ‘Irbāḍ bin Sāriyah sebagai dalil bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah menjalani kehidupan dengan tauhid sejak masa pertumbuhannya. Pendapat ini bertujuan untuk menanggapi klaim yang menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa Nabi ﷺ tidak selalu berada dalam keadaan tauhid.”
Secara implisit, dengan berdalil hadis tersebut Imam Ahmad bin Hambal memberikan alasan mengapa Nabi Muhammad hidup dengan tauhid sejak masa pertumbuhannya adalah karena beliau sejak awal telah memiliki sifat profetik. Oleh karena itu, Ibnu Rajab al-Hanbali mempertegas keterangan implisit ini dengan menyatakan,
بل قد يستدل بهذا الحديث على أنه ﷺ ولد نبيا، فإن نبوته وجبت له من حين أخذ الميثاق منه، حيث استخرج من صلب آدم، فكان نبيا من حينئذ، لكن كانت مدة خروجه إلى الدنيا متأخرة عن ذلك، وذلك لا يمنع كونه نبيا قبل خروجه، كمن يولى ولاية ويؤمر بالتصرف بها في زمن مستقبل، فحكم الولاية ثابت له من حين ولايته وإن كان تصرفه يتأخر إلى حين مجيء الوقت.
Bahkan hadis ini juga dapat dijadikan dasar untuk mendukung argumen bahwa Nabi ﷺ dilahirkan dalam keadaan sudah menjadi nabi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kenabian beliau telah ditetapkan sejak Allah mengambil perjanjian dari beliau saat beliau dikeluarkan dari tulang sulbi Adam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ sebenarnya sudah menjadi nabi sejak saat itu, meskipun pelaksanaan tugas kenabiannya baru terjadi ketika beliau lahir ke dunia. Dalam konteks ini, meskipun ada penundaan dalam realisasi kenabian di dunia, status kenabian beliau sudah ditetapkan sejak perjanjian tersebut diambil. Dengan kata lain, status kenabian itu sudah ada sejak awal, bahkan jika pelaksanaan tugas kenabian baru dimulai pada waktu yang ditentukan.”
Diskursus ini secara substansial memiliki beberapa implikasi teologis: memperbarui pemahaman kita atas universalitas misi profetik Nabi Muhammad, menambah prespektif kita atas kedudukan ontologis Nabi Muhammad dari sisi metafisik hingga membuka pintu justifikasi konsep Nur Muhammad yang banyak diperbincangkan.