Pernah suatu ketika, Imam Syafi’i kecil (pendiri Mazhab Syafi’i) yang sudah yatim ditinggal sendirian di rumah oleh ibunya yang tengah pergi ke pasar. Ketika sendirian di rumah, Imam Syafi’i kecil pun menangis. Melihat hal ini, tetangganya yang kebetulan sedang menyusui merasa iba dan memutuskan untuk menyusui Imam Syafi’i. Sesampai ibundanya di rumah, setelah mengetahui kalau anaknya disusui oleh tetangganya, ia pun merasa khawatir kalau ada hal-hal yang tidak halal masuk ke tubuh anaknya melalui susu tetangganya tersebut. Kemudian beliau pun segera menggerak-gerakkan tubuh Imam Syafi’i sampai apa yang ada di perutnya dikeluarkannya lagi. Begitulah, betapa seriusnya sang ibunda menjaganya dari hal-hal yang belum jelas kehalalannya.
Dalam hal pendidikan, perhatian ibunda Imam Syafi’i juga sangat besar dan serius. Ia tidak membukakan pintu untuk putranya ketika pulang dari majelis salah seorang ulama di masa itu dan menyuruhnya kembali lagi ke majelis tersebut, hingga baru boleh pulang dan masuk rumah apabila telah benar-benar memperoleh ilmu.
Dari kisah ini, ketika kita teringat petuah seorang ulama,
“Wanita adalah tiang negara. Jika baik wanita dalam suatu negara, maka baik pulalah negara tersebut, namun jika buruk wanitanya, maka buruk jugalah negara tersebut.”
Maka ibunda Imam Syafi’i yaitu Fathimah binti Ubaidillah telah membuktikannya. Ia tak hanya melahirkan seorang putra yang hebat pada zamannya, namun juga menjadi seorang ulama yang sampai saat ini bersinar namanya dan bahkan semakin bersinar diasah masa.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata.
“Ia (Imam Syafi’i) ibarat matahari bagi bumi, dan kesehatan bagi badan. Adakah yang bisa menggatikan keduanya?”
Kemudian, bukankah tanggungjawab wanita lebih besar di zaman modern seperti sekarang ini? Dan sebagai ibu dan calon ibu, sudahkah wanita zaman sekarang meningkatkan kualitas dan memantaskan diri sebagai sumber ilmu bagi anak-anaknya?
*) Alumni PP MUS Sarang