Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ajaran syariat Islam telah lama menyerukan ukhuwah islamiyyah kepada para pemeluknya di belahan dunia manapun. Islam mengajak umatnya untuk bersatu, saling menyayangi dan mengasihi antar sesama serta menetapkan satu sama lainnya sebagai saudara seagama, karena hal itu adalah jalan untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Menilik kembali sosiohistorisnya, Allah swt. mengutus Nabi Muhammad saw. pada saat Bangsa Arab suka berperang, bermusuhan dan saling mengusir. Hati mereka dipenuhi dengan kedengkian dan disorientasi ideologis, peperangan silih berganti, api amarah terus menyala-nyala. Di tengah suasana carut marut demikian, Allah swt. Mengutus Nabi Muhammad saw. dan memerintahkannya untuk mendekonstruksi pemikiran jahiliyyah dengan nilai-nilai Islam serta mengajak mereka pada persatuan dan kesatuan dengan konsep implementatif yang sesuai dengan kondisi Bangsa Arab pada waktu itu.
Dengan misi mulia tersebut, pergerakan dakwah Nabi dapat dengan cepat meluas dan diterima oleh masyarakat arab maupun non arab, sehingga untuk menyatukan suara mereka dan menjadikan mereka seperti satu jiwa dalam kedamaian, dapat mengambil manfaat dari perbedaan regional, bangsa dan bahasa, dibutuhkan satu terobosan untuk mewadahi mereka. Oleh karena itu, disyari’atkanlah haji sebagai sarana untuk mengumpulkan umat muslim dengan berbagai madzhab dan negara yang berbeda pada suatu tempat. Dengan berkumpulnya kaum muslimin dari pelbagai daerah atau negara yang jauh maka mereka akan bisa saling mengenal, saling menyayangi sesama muslim, orang Arab kenal dengan orang Hindia, Turki, China, Mesir, Syiria, Barat, Jawa dan lain-lain, sehingga dengan aktifitas ta’aruf tersebut mereka menjadi seperti saudara sekandung karena satu ikatan di bawah naungan agama Islam.
Sesungguhnya dengan lantaran saling mengenalnya sesama muslim, bersatu dalam satu kalimat lantaran beribadah haji yang sudah barang tentu mempunyai banyak manfaat lebih dari itu, maka akan terjalin interaksi simbiotis yang melahirkan banyak sekali keuntungan yang bisa didapatkan dalam urusan dunia mereka. Seperti halnya antara satu kabilah bisa mengenal kabilah dari negara lain baik dalam hal perdagangan, kerajinan, pertanian dan beberapa manfaat lainnya. Secara global mereka akan mendapatkan banyak sekali keuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Inilah arti dari sebuah persatuan agama Islam yang sebenarnya ditakuti oleh orang Eropa. Andaikata ada sekelompok muslim yang ditindas oleh penguasa yang dholim atau ada yang lari dari pemimpin otoriter, maka mereka bisa saling membantu, saling menyelamatkan untuk sama-sama mendapatkan perlindungan. Seperti itulah diantara beberapa manfaat yang telah diisyaratkan oleh firman Allah dalam QS. Al-Hajj : 28,
[arabic-font]لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ[/arabic-font]
“ Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. “
Ada sebagian orang yang berpendapat, “haji itu tidak hanya dalam Islam saja (tidak hanya ada pada ajaran Nabi Muhammad saw. saja) akan tetapi aktifitas ibadah haji sudah ada pada zamannya Nabi Ibrahim a.s.”. Perlu kita ketahui bahwa teknis pelaksanaan aktifitas haji yang ada pada zaman dahulu itu tidak seperti aktifitas haji pada saat ini yang telah diatur sedemikian rupa oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Orang-orang arab terdahulu dengan sifat jahiliyyahnya mereka memasukkan ritual-ritual yang tidak selaras dengan syari’atnya Nabi Ibrahim a.s, lalu datanglah agama Islam yang merevolusi hal-hal yang tidak pernah ada dalam ajaran agama seperti towaf dalam keadaan telanjang dan lain-lain. Andaikan kita ikut mengatakan bahwa semua ritual-ritual haji saat ini adalah yang ada pada zaman Nabi Ibrahim a.s maka hal ini jelas tidak sesuai dengan sunnah nabawiyyah yang telah menentukan praktek ibadah haji dan waktu-waktu pelaksanannya kepada semua umat muslim agar melaksanakan kewajiban ibadah haji dari satu kewajiban ke kewajiban lain sesuai dengan prosedurnya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “barangsiapa mati dan dia belum sempat beribadah haji (haji Islam) tanpa ada seorang penguasa dholim yang menghalanginya atau sakit parah atau musuh yang di depan mata, maka hendaklah ia mati dalam keadaan nasroni atau majusi.” Hadits tersebut sangat jelas menyebutkan bahwa kita semua wajib untuk menunaikan ibadah haji jika mampu semuanya.
Dan sangat disayangkan, orang-orang barat telah mengetahui dan memahami hikmah yang sangat agung ini, mereka berfikir seribu kali ketika mereka mengetahui bahwa ibadah haji adalah penguat atau kekuatan persatuan umat Islam yang bisa membuat mereka gentar. Sementara itu, orang muslim tidak tahu manfaat yang sangat banyak ini. Orang yang biasanya menunaikan kewajiban ibadah haji merejka hanya sekedar menunaikan kewajiban saja tanpa menjiwai manfaat, faidah dan hikmah yang sangat luar biasa ini.
Pada dasarnya ibadah haji itu wajib dilakukan karena dua hal, pertama, karena kita adalah seorang hamba maka kita harus menyembah kepada Allah swt. Kedua karena kita harus mensyukuri nikmat. Dalam ibadah haji terdapat dua muatan keduanya, menampakkan ubudiyyah dan mensyukuri nikmat. Adapun menampakkan ubudiyyah artinya adalah menampakkan sifat rendah kita kepada dzat yang wajib kita sembah. Dapat kita lihat, dalam ibadah haji seseorang dalam keadaan ihramnya dia menampakkan kusut atau apa adanya, menanggalkan perhiasan (berhias), dia berpakaian layaknya seorang budak yang tunduk kepada tuannya, dia berusaha untuk menampakkan keadaannya yang terburuk agar mendapatkan belas kasih dari tuannya. Dalam keadaan wukufnya di Arafah, dia seperti hamba sahaya yang telah melakukan kesalahan lalu ia wukuf , berdiam di hadapan tuannya dengan hina memohon ampunan kepada tuannya atas kesalahannya. Dalam keadaan towafnya di sekeliling Baitullah, ia seperti seorang hamba sahaya yang berdiri di depan pintu tuannya memohon ampun kepada Allah swt. Adapun mensyukuri nikmat artinya adalah menggunakan nikmat tersebut untuk beribadah. Sedangkan ibadah itu ada dua, ibadah dengan anggota badan dan ibadah dengan harta. ibadah haji adalah ibadah yang mengakomodir keduanya, dengan badan juga dengan harta. Oleh karena itu, haji tidak diwajibkan ketika tidak memiliki harta yang cukup atau kondisi fisik tidak sehat.
bersambung…