Ulama’ sebagai tonggak kekuatan islam sudah seharusnya ditempatkan pada posisi teratas dalam strata sosial. Mereka sebagai pewaris para nabi sudah seharusnya mendapat penghargaan tertinggi. Dengan tingkat kepedulian dan khidmah mereka pada masyarakat, pendidik yang bukan hanya ideologi namun juga moral, sebagai tauladan, mereka patut dimuliakan bahkan diidolakan.
Seiring dengan perputaran roda kehidupan, ternyata kita banyak mendapati fakta sosial yang justru bertolak belakang dengan itu. Manusia tampak lebih mengidolakan tokoh lain, mereka lebih menghormati orang yang identik dengan kebebasan finansial, mereka bahkan gengsi mendudukkan anaknya bersama para ulama’ pesantren. Mereka lebih percaya pada orang dengan basic yang non ulama’, padahal jelas sekali disebutkan dalam al-qur’an:
[arabic-font]وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ[/arabic-font]
Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu (ulama’), jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya: 7)
Berangkat dari sinilah kiranya perlu kembali mengkaji derajat keluhuran para ulama’ di sisi Allah. Memahami dan menteladani beliau-beliau itu untuk kemudian menanamkan dalam hati kita cinta pada ahlul ilmi, sebagai washilah agar kita kelak digolongkan bersama para rosul dan para pewarisnya.
Yahya Bin Mu’adz berkata: “ulama’ adalah orang yang paling asih terhadap umat Nabi Muhammad Saw. Kemudian beliau ditanya kenapa bisa demikian. Beliau menjawab: “Orang tua mereka menjaga dan melindungi mereka dari api dunia, sedangkan para ulama’ senantiasa menjaga mereka dari api neraka.”
Dengan demikian kewajiban dan tanggung jawab ulama’ –sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Ghozaly dan kebanyakan ulama’- lebih besar dibanding kewajiban dan tanggung jawab orang tua. Kita mungkin tidak dapat lahir dan hidup di dunia ini tanpa kedua orang tua kita, namun tanpa ulama’ kita tidak akan dapat menikmati hidup yang setelah ini, kehidupan abadi yang menjadi pencapaian akhir kehidupan dunia.
Tanpa seorang guru (baca; ulama’) maka apapun yang diberikan oleh orang tua akan mendatangkan kerusakan. Hal ini dikarenakan apa-apa yang mereka berikan justru kebanyakan berupa fasilitas atau kebutuhan- kebutuhan kita di dunia ini. Ironisnya, semua itu kebanyakan membuat kita lalai pada Dzat yang menciptakan bila kita tidak tahu ilmunya, lupa syukur, lupa akhirat, lupa kalau hidup yang saat ini hanyalah perantara hidup setelahnya.
Guru adalah figur yang mengajarkan kita banyak hal tentang kehidupan akhirat. Guru dengan kriteria yang demikian itu adalah sosok guru yang senantiasa mengajarkan ilmu-ilmu akhirat atau ilmu dunia namun ditujukan pada akhirat.
Sayyidina Ali Ra, memberikan perbandingan keutamaan guru dan orang tua dalam sebuah syairnya:
[arabic-font]
رأيت أحقّ الحقّ حقّ المعلّم # وأوجبه حفظا على كلّ مسلم
لقد حقّ أن يهدى إليه كرامة # لتعليم حرف واحد ألف درهم
[/arabic-font]
“Aku meyakini bahwa tanggung jawab guru adalah tanggung jawab terbesar. Maka sudah semestinya setiap muslim menjaga dan memberikan hak-haknya. Bahkan sangat benar dan patut diapresiasi bila seorang guru diberi imbalan 1000 dinar hanya karena mengajarkan satu huruf.”
Kedudukan seorang guru hampir setara dengan kedudukan seorang nabi atau rosul. Hal ini karena guru adalah pemegang tongkat estafet serta tanggung jawab nabi dan rosul. Guru bak pelaksana tugas para rosul pasca era kenabian.
Suatu hari Rosulullah Saw pergi keluar bersama para sahabat dan menyaksikan dua majlis yang sedang berlangsung. Salah satu majlis terlihat sedang memohon dan mendekatkan diri pada Allah. Adapun majlis yang lain terlihat sedang mengajarkan ilmu pada para penduduk. Rosulullah berkata pada para sahabat: mereka itu adalah orang-orang yang memohon pada Allah, jika Allah menghendaki akan mengabulkan do’a mereka, dan jika tidak do’a mereka tak akan terkabul. Adapun mereka yang itu adalah orang-orang yang sedang mengajarkan ilmu kepada para manusia. Aku diutus sebagai guru bagi kalian lalu kemudian tugas itu beralih pada mereka. Datangilah mereka itu dan duduklah bersama guru-guru itu.
Diceritakan pula bahwa Syeikh Al-Imam Syamsul A’immah Al-Hilwaniy suatu hari melakukan perjalanan dari Bukhara dan singgah di sebuah dusun selama beberapa hari. Di sana beliau dikunjungi murid-murid beliau kecuali Syeikh Abu Bakar Az-Zaranjariy. Beliau lalu bertanya padanya saat bertemu: “Kenapa kau tak mengunjungiku ?” Syeikh Abu Bakar menjawab: “Aku tidak punya waktu wahai Syeikh, aku sibuk melayani orang tuaku.” Beliau tersenyum dan menimpali:”Kau akan mendapat berkah usiamu, namun tidak cahaya belajarmu.” Do’a itu terkabul dan benar-benar terjadi. Syeikh Abu Bakar lebih sering tinggal di dusun dan tidak sempat mengajar karena kebanyakan para pelajar bermukim di kota.
Cerita ini sebagai bukti bahwa hak seorang guru harus lebih diprioritaskan dari hak orang tua. Sebab kesalahan Syeikh Abu Bakar itulah, beliau akhirnya tidak mendapat keberkahan ilmu, dan telah maklum bahwa keberkahan pasti sesuai dengan syari’at.
Dari sinilah kiranya dapat kita ambil benang merah bahwa para ulama’ itu sudah seharusnya ditempatkan pada level teratas dalam strata sosial. Kita sebagai seorang muslim, sebagaimana ajaran islam sepatutnya menanamkan dalam hati bahwa mereka para ulama’ adalah pewaris para nabi, dan orang dengan derajat tertinggi setelah Nabi dan Rosul. Mengenalkan mereka pada anak-anak kita, agar mereka senantiasa mengidolakan dan berusaha mencerminkan akhlak-akhlak para ulama’. Syukur-syukur mereka mau bercita-cita menjadi seperti beliau-beliau itu. (qodimrachman)