Nilai Prioritas Dalam Nash Syari’at
Setiap skala prioritas yang dibangun, pasti tidak akan lepas dari nilai-nilai prioritas didalamnya. Muhammad al-Wakily menyatakan bahwa ada beberapa nilai prioritas dalam nash syari’at yang menjadi parameter dalam memprioritaskan sebuah amal perbuatan, diantaranya :
- Keimanan dan ketaatan
Mayoritas skala prioritas yang telah ditetapkan oleh nash syari’at itu dibangun atas dasar keimanan dan ketaatan. Orang yang beriman lebih mulia daripada orang kafir. Dan orang mukmin yang bertakwa itu lebih utama daripada orang mukmin yang fasik, dan begitu seterusnya. Atas dasar ini pula para sahabat Nabi juga berbeda tingkatannya.
- Ilmu
Setiap tanggungjawab yang secara teknis proseduralnya bergantung pada ilmu, maka orang yang berilmu itu harus diprioritaskan daripada yang lainnya. Oleh karenanya, syari’at Islam menjadikan ilmu sebagai parameter dalam menentukan siapa yang paling berhak menjadi imam sholat.
- Urgensi
Dalam perspektif hukum Islam, segala sesuatu yang lebih penting (al-ahamm) itu harus diprioritaskan daripada yang hanya sekedar penting (al-muhimm). Nilai prioritas ini berlaku pada semua urusan baik duniawi maupun ukhrowi. Studi urgensitas dalam sebuah tindakan mutlak dibutuhkan agar umat Islam mampu mengerjakan seluruh kewajiban-kewajibannya secara optimal dan mampu meninggalkan larangan-larangan Allah swt. secara gradual.
- Kecakapan
Kecakapan yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam mengemban amanat dan tanggungjawab. Artinya skala prioritas dalam hal-hal otoritatif itu harus selalu diletakkan pada seseorang yang lebih kapabel. Dalam konteks pemerintahan misalnya, Ibnu Taimiyyah –sebagaimana dikutip Muhammad al-Wakily- memberikan dua standar kapabilitas seseorang, yaitu kekuatan dan kemampuan (al-quwwah) dan kepercayaan (al-amanah). Dalam hal kekuatan dan kemampuan, setiap individu memiliki kekurangan dan kelebihan sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing. Misalnya, kekuatan dan kemampuan yang diperlukan oleh seorang panglima perang, terletak pada keberanian dan kelihaiannya dalam mengatur strategi peperangan. Sedangkan dalam ruang pemerintahan, kekuatan dan kemampuan yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang hukum perundang-undangan, kemampuan untuk bertindak adil dalam menerapkan berbagai hukum. Adapun integritas seseorang atau sifat amanah itu kembali pada rasa takut kepada Allah swt., tidak gentar dengan siapapun dan tidak mengkomersialkan hukum-hukum-Nya. Dua faktor inilah yang dapat meciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, berintegritas dan bermartabat. Segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah menjamur merupakan implikasi nyata dari hilangnya dua hal tersebut.
Antara Tujuan Dan Sarana
Dalam bingkai Islam, hukum syari’at terbagi dalam dua kategori, maqoshid dan wasa’il. Maqoshid adalah segala sesuatu yang menjadi tujuan pokok dalam legislasi Islam. Sedangkan wasa’il adalah segala sesuatu yang disyari’atkan sebagai sarana penunjang terealisasinya hukum-hukum Islam yang lain. Secara prinsipiil, kekuatan hukum dalam sarana itu sama dengan kekuatan hukum tujuan pokok itu sendiri. Walaupun terdapat kesamaan hukum, akan tetapi kekuatan hukum yang ada dalam sarana tetap dibawah kekuatan hukum tujuan pokok, sehingga skala prioritas harus diletakkan pada sesuatu yang bersifat tujuan pokok. Artinya ketika sarana penunjang tidak terpenuhi dalam merealisasikan tujuan pokok, bukan berarti maqoshid itu harus gulung tikar. Selama masih ada sarana penunjang meskipun tidak sesuai dengan kriteria, maka maqoshid harus tetap direalisasikan.
Misalnya, amar makruf adalah perintah agama yang tergolong sarana (wasa’il) untuk berdakwah yang tergolong tujuan pokok (maqoshid). Sedangkan pemenuhan nafkah anak, istri dan keluarga adalah kewajiban yang tergolong tujuan pokok (maqoshid). Apabila aktivitas dakwah suami dengan cara amar makruf diluar rumah yang notabenenya adalah kewajiban yang hanya sebatas sarana karena dakwah bisa dilakukan dengan media apa saja, menjadi faktor pemicu terbengkalainya kewajiban menafkahi anak, istri dan keluarga, maka sang suami tidak boleh melaksanakan aktivitas dakwahnya diluar rumah, karena kewajiban yang tergolong maqoshid harus diprioritaskan daripada kewajiban yang tergolong wasa’il.
Antara Fardlu Dan Sunnah
Sebagaimana konsensus para ulama, semakin tegas dan kuatnya instruksi syari’at, maka semakin besar prosentase maslahah yang dikandungnya. Begitu pula dengan sebaliknya, semakin lemah dan tidak tegasnya instruksi syari’at, maka semakin kecil prosentase maslahah didalamnya. Oleh karena itu, mengerjakan sesuatu yang bersifat fardlu itu jauh lebih urgen daripada mengerjakan sesuatu yang bersifat sunnah.
Salah satu kritik sosial yang gencar diserukan oleh para intelektual muslim dalam konteks ini adalah maraknya aktivitas ibadah sunnah yang tidak diimbangi dengan upaya preventif terhadap kebebasan berbicara yang telah keluar dari norma keislaman. Maraknya menggunjing, adu domba dan lain sebagainya yang jelas-jelas dosa besar dan wajib untuk dihindari justru lambat laun dianggap sebagai hal biasa. Kalau sudah demikian, lantas apa manfaat yang didapat dari amal sunnah yang dilakukan secara kontinu tapi disisi lain menyebabkan terbengkalainya sebuah kewajiban? Bukankah seharusnya keharusan untuk menghindari hal tersebut harus diprioritaskan? Ibnu Qoyyim al-Jauzy mengatakan, “banyak orang berusaha menghindarkan dirinya dari percikan najis tapi mereka tidak bisa lepas dari lilitan ghibah”
Selain itu, fenomena haji sunnah berulangkali yang menjadi tren mayoritas masyarakat muslim patut disanksikan skala prioritasnya meskipun hanya sebatas problem kasuistik. Artinya kita tidak bisa menutup mata bahwa realitas sosial masyarakat disekeliling kita justru merasakan kelaparan dan dililit problem finansial yang mencekik leher mereka. Apabila dana haji sunnah itu dialokasikan untuk pemenuhan hajat mereka, justru akan lebih besar asas kemanfaatan dan kemaslahatan bagi keberlangsungan hidup mereka. Secara teoretis, amal perbuatan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak itu lebih utama daripada amal yang manfaatnya hanya kembali pada diri sendiri (al-mut’addi afdlolu min al-qoshir). Dalam Islam, manusia yang notabenenya adalah makhluk sosial tidak hanya dituntut untuk saleh individu saja, akan tetapi saleh sosial juga harus menjadi perhatian serius mengingat eksistensinya yang dependen dan membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu maslahah tersebut jelas tidak sebanding dengan maslahah yang ditimbulkan dari alokasi harta untuk kepentingan haji sunnah yang dalam fakta riilnya nilai negatifnya justru lebih dominan.
Kesalahan dalam memprioritaskan amaliyah sebagaimana disebutkan diatas seolah telah menjadi fenomena yang sangat wajar di sekitar kita. Banyak pengajar yang sibuk dengan aktivitas di luar tempat mengajar dengan meninggalkan kewajiban asasinya untuk mengajar dan memajukan intelektualitas serta kompetensi anak didik di tempat dirinya mengabdi. Fakta dilematis inilah yang menjadi paradigma umat kekinian sehingga analisa prioritas mereka patut disanksikan. Jauh-jauh hari sahabat ‘Umar bin Khoththob ra. pernah ditanya oleh salah seorang penduduk Irak tentang orang muhrim (melaksanakan ihrom) yang membunuh lalat. Beliau mengatakan,
أهل العراق يسألون عن الذباب وقد قتلوا ابن ابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال النبي صلى الله عليه وسلم هما ريحانتاي من الدنيا
“Para penduduk Irak menanyakan tentang lalat sementara mereka telah membunuh cucu Rosulullah saw. Sedangkan beliau bersabda, kedua cucuku (Hasan dan Husein) adalah dua bungaku di dunia.”
Statemen sahabat ‘Umar dalam kasus tersebut adalah ekspresi kekecewaan terhadap orang Irak yang disibukkan dengan urusan kecil dan lalai terhadap urusan besar seperti kejahatan mereka membunuh cucu tercinta Rosulullah saw. Artinya, bukan berarti pemahaman tentang hal tersebut tidak penting, akan tetapi ada yang jauh lebih penting untuk direnungi. Alhasil, apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai dan tidak memberikan waktu, skala prioritas serta kemampuan melebihi kadar haknya. Semaksimal apapun amal kesunnahan yang kita lakukan tidak akan melebihi gradasi amal fardlu dan ushul.
bersambung ….